-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MAKNA SOSIAL DAN EKOLOGIS: GOET MUKU CA PU’U NEKA WOLENG CURUP-TEU CA AMBO NEKA WOLENG LAKO

| Senin, September 16, 2024 WIB Last Updated 2024-09-15T17:53:18Z


Feliks Hatam

MANGGARAI: GOET MUKU CA PU’U NEKA WOLENG CURUP-TEU CA AMBO NEKA WOLENG LAKO DIMAKNAI DENGAN PRINSIP-PRINSIP PERSEKUTUAN MENURUT PAULUS (Menggugah Kesadaran Ekologis Berbasis Budaya Lokal dan Spiritualitas Paulus dalam Menghadapi Masalah Tambang)



Abastrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menjelaskan go’ét muku ca pu’u nèka wolèng curup teu ca ambo nèka wolèng lako dalam kaitannya dengan komunio sosial dan komunio ekologis? atau bagaMIamenjelaskan makna komunio sosial dan komunio ekologis dari go’ét tersebut?(2) menjelaskan relevansi arti dan makna go’ét itu dengan prinsip komunio sosial (1 Kor 12:12- 31) dan komunio ekologis (1 Kor 10-11:1) Paulus yang mengedepankan sikap solider.


Manusia adalah makhluk yang berkomunio dalam tiga dimensi, yakni komunio sosial, komunio ekologis, dan komunio religius. Kosentrasi penulis dalam tulisan ini adalah komunio sosial dan komunio ekologis. Kehadiran tambang menganggu keharmonisan kedua komunio tersebut. Dalam komunio sosial ditandai dengan munculnya berbagai macam konflik dan perpecahan antar sesama; sedangkan dalam komunio ekologis dengan munculnya berbagai macam penyakit akibat mengihirup dan mengkonsumsi air yang tercemar, semakin kurangnya debit air, hasil pertanian semakin menurun dan meninggalkan lubang besar kepada pemilik lahan. 


Hal serupa dialami oleh umat Stasi X. Kehadiran perusahan pertambangan menyebabkan terkikisnya aplikasi makna persekutuan sosial dan ekologis yang terungkap dalam goét muku ca pu’u nèka wolèng curup-teu ca ambo nèka wolèng lako. Akibatnya muncul kelompok kontra dan pro pertambangan, terciptanya perpecahan dan konflik horisontal, tercemar dan kuranya debit air yang mengalir ke lahan persawahan yang berada di kaki Lingko X, hasil kemiri dan coklat dekat lahan pertambangan mengalami penurunan dan lokasi bekas tambang sampai sekarang tetap berlubang dan tidak dapat difungsikan lagi untuk usaha pertanian (Data JPIC SVD Provinsi Ruteng).


Terhadap persoalan yang sangat meprihatinkan itu, penulis menawarkan solusi dengan memaknai go’ét muku ca pu’u dan téu ca ambo, sihingga roh kolektif lokal yang menekankan persekutuan dengan sesama dan alam dapat dijadikan dasar dalam mengatasi persoalan tersebut, maka studi lapangan sangat dibutuhkan. Hal itu untuk menggugahkan dan mendeskriskan makna terdalam persekutuan sosial dan ekologis orang Manggarai yang terungkap dalam go’ét di atas. Makna holistik ungkapan tersebut dimaknai pula dengan perinsip persekutuan Paulus, yakni prinsip komunio sosial (1 Kor 12:12-31) dan komunio ekologis dalam 1 Kor 10-11:1. Karena itu penulis melakukan penelitian deskripsi wawancara sebagai metode utama, dan statistik deskripsi sebagai pelengkap. Narasumbernya berjumlah 12 orang, mereka dipilih berdasarkan pengalaman, kedudukan dan kesaksian atau sekurang-kurangya memahami budaya, pertanyaan yang sama ditanyakan kepada 12 narasumber tersebut. Sedangakan pernyataan dalam angket dirumuskan dengan mengacu pada makna pertanyaan wawancara, diedarkan kepada 100 responden dari 1.193 umat Stasi X


Hasil penelitian menunjukkan bahwa go’ét tersebut sangat relevan dan dapat dijadikan dasar dalam menyelesaikan konflik sosial dan konflik ekologis. Karena alam dan manusia merupakan satu sistem kehidupan yang hidup serumpun dan saling mempengaruhi, dapat dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan. Keduanya memiliki ikatan pesikologis, saling berintraksi satu dengan yang lainnya. Ketika gagasan tersebut dimaknai bersama Paulus, hal utama yang ditegaskannya adalah setiap pribadi dipersatukan oleh Roh dan menjadi anggota dalam Tubuh Mistik Kristus (1 Kor 12:12-14;27). Sikap kasih, mejadi pendoman bagi setiap anggota untuk memanfaatkan seluruh potensi [karisma] demi keharmonisan komunio (1 Kor 12:12-31;13-14).Memperhatikan kepentingan semua anggota (1 Kor 12:14- 23). Manusia dipanggil untuk mengembalakan alam, alam dan manusia ada dalam kekuatah Tuhan, karena semuanya bersumber dari Allah (1Kor 10:26). Kemampuan untuk mengolah alam adalah karunia yang diterima sejak penciptaan. Karunia tersebut harus dijalankan penuh kasih dalam memanfaatkan alam, kasih melapaskan manusia dari sikap nafsu dan menekan antroposentrisme (bdk.1 Kor 10:5-7). Mengakui alam sebagai sahabat adalah aplikasi leiturgia, menyata dalam tindakan sebagai doa yang mengkonteks (1 Kor 10:32-11:1); mengkontekstualisasikan iman dalam budaya, dipersatukan secara sempurna dalam Ekaristi, dan Ekaristi mempersatukan secara kosmis (bdk.1 Kor 10:17-20).


Kata Kunci:Goét Muku Ca Pu’u Nèka Wolèng Curup-Teu Ca Ambo Nèka Wolèng Lako, Persekutuan sosial IKor 12:12-31 dan Persekutuan ekologis 10-11:1.

Catatan: Tulisan telah  dipublikasikan tahun 2015


SELENGKAPNYA KLIK DI SINI: MAKNA SOSIAL DAN EKOLOGIS: GOET MUKU CA PU’U NEKA WOLENG CURUP-TEU CA AMBO NEKA WOLENG LAKO 




Iklan

×
Berita Terbaru Update