-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mendalami Makna Go’ét Manggarai, Flores NTT, Indonesia

| Kamis, November 30, 2023 WIB Last Updated 2023-12-02T19:13:26Z
Tari caci, salah satu warisan seni budaya masyarakat Manggarai di Flores-NTT yang masih lestari hingga saat ini. (Foto: masguhberkata.files.wordpress.com)

Halo pembaca felikshatamid.com, kali ini kita mendalami secara singkat makna go’ét Manggarai. Diakui ada banyak sekali makna go’ét dalam kebudayaan Manggarai. Ulasan sederhana ini tidak bermaksud mengurangi nilai luhur go’ét tersebut. Namun tulisan sedarhana ini berharap memancing niat untuk mendalami makna go’ét secara mendalam. Upaya yang tidak henti dalam mencari makna go’ét adalah sebagai tindakan untuk terus merawat dan mevariskan nilai-nilai go’ét.


Arti Go’ét

Go’ét adalah produk budaya sekaligus identitas orang Manggarai sebagai pencipta budaya. Begitupun arti dan maknanya menggambarkan nilai, rasa, harapan dan cita-cita manusia Nuca Lale sebagai makhluk budaya (human culture). Karena itu, go’ét diartikan sebagai sajak, pantun (di’a tu’u na jaong data hitu “ta”ra; bicaranya sangat bagus/bicaranya penuh makna), bahasa, nyanyian yang dilantunkan dengan bahasa yang indah, rewéng, curup/carong dan nunduk «rewéng, curup, carong: bahasa, pembicaraan; nunduk: cerita, dongen, mengisahkan».


Go’ét sebagai réwéng, curup/carong merupakan bahasa resmi dalam acara adat atau taé adak (Verheijhen, 1967:142-143).Selain itu, go’ét diartikan sebagai pepatah, amanat dan bahasa amsal yang mengandung nilai-nilai luhur (Deki, 2011:125-126).


Secara luas go’ét diartikan sebagai bahasa dan petuah. Go’ét sebagai bahasa adalah lambang bunyi yang diungkapkan oleh manusia secara verbal (kata-kata) dan melalui tindakan (nonverbal) sekaligus sebagai media dalam kehidupan bersama (mosé agu haé ata; mosé: hidup; haé ata: orang lain, dengan orang lain), baik sebagai makhluk individu, sosial, kosmis maupun religius. 

    


Sedangkan sebagai petuah, go’ét menanamkan nilai moral yang dipedomani dan diteladani, sebab go’ét melarang masyarakat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai atau norma dan menyadarkan manusia Manggarai untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan norma (Adur dan Kabelen, 2004: 3-4)


Jadi, go’ét adalah roh yang menjiwai kebudayaan orang Manggarai, yang mengandung multi nilai demi terwujudnya kehidupan yang harmonis, sejahtera, bermoral, beriman dan berkosmis serta menggambarkan khasanah hati yang mendalam. 


Go’et sebagai sebuah bentuk seni sastra yang mengandung pesan moral, pandangan hidup, motivasi, dan doa bagi masyarakat Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Go’et biasanya diucapkan dalam bahasa Manggarai yang kaya akan makna dan simbol. Go’et juga mencerminkan hubungan erat antara masyarakat Manggarai dengan alam, budaya, dan Tuhan.


Go’et sering digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, kematian, panen, dan lain-lain. Go’et juga dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam menghadapi tantangan hidup.

Agar go’ét tetap menjadi identitas orang Manggarai, sikap dan tindakan hidup terhadap alam harus dikendalikan dalam makna dan nilai luhur alam yang termakna dalam setiap ungkapan tersebut.

 

Makna Go’ét dalam Komunio Sosial

Roh kehidupan bersama yang hamonis adalah mentaati dan memaknai norma atau nilai sebagai petunjuk. Roh (nilai) yang sama terdapat dalam kebudayaan orang Manggarai, yang terungkap dalam go’ét. Nilai atau susila tersebut dirumuskan dalam bentuk positif (sekaligus cita-ciata/harapan) dan negatif.


Rumusan dalam bentuk negatif seperti néka anggom lé anggom lau «jangan mengambil sembarang milik orang lain», néka kodé ngo haé koé, néka kaba ngo haé ata, néka aca ngo haé wa’u«menekankan sikap saling menghormati» dan lain-lain, sedangkan rumusan dalam bentuk positifnya adalah ipungca tiwu néka woléng wintuk «makna: dalam hidup bersama mengedepankan persatuan», dempul wuku tela toni kudut dumpu baté nuk, haéng bate kawa«harapan akan tercapai, bila ada semangat kerja yang tinggi», nai ca nggit tuka ca léléng dan lain-lain (bdk.Adur dan Kabelen, 2004: 3-4; Janggur, 2010:134).


Nilai luhur, cita-cita dan harapan dari go’ét yang dirumuskan dalam dua bentuk adalah norma dasar dalam menciptakan kehidupan bersama yang harmonis, sehingga anggota masyarakat bukan lagi muku ca pu’u woléng curup atau téu ca ambo woléng lako, tetapi muku ca pu’u ca curup dan téu ca ambo ca’ lako.

 

Makna Ekologis Go’ét 

Pengambilan nama fauna dan flora dalam go’ét adalah bukti kesatuan orang Manggarai dengan alam. Hal tersebut diungkapkan dalam beberapa go’ét berikut: natas ca labar, wae bate téku, ipung ca tiwu nèka wolèng wintuk, nakeng ca wae nèka wolèng tae (makna persatuan), saung bembang ngger éta wake celer nggerwa (cita-cita),muku ca pu’u nèka wolèng curup téu ca ambo nèka wolèng wekol, ipung ca tiwu nèka wolèng wintuk, nakeng ca wae nèka wolèng tae «makna persatuan», mboas wae woang-kembus wae teku«mboas: lancar, keras, deras; kembus: lancar, jernih.


Maknanya: agar air tetap mengalir demi kelangsungan hidup seluruh makhluk dan ajakan untuk selalu menjaga keutuhan hutan/pohon- pohon yang tumbuh di sekitar mata air, kehidupan» dan lain-lain (Sutam, 2012:179). Dalam bentuk larangan, seperti néka tapa satar jaga mata baba, néka poka puar rantang méti waé.


Beragam go’ét yang bernuansa ekologis sebagai gambaran bahwa, orang Manggarai sebagai makhluk kosmis, sekaligus mengkomunikasikan dirinya dengan alam. Selain itu, gambaran ini menunjukkan alam dijadikan sahabat yang dipedomani dalam kehidupan dengan alam (Hemo, 1990:226). 


Konsekuensinya, memakanai go’ét sebagai roh dan nafas kebudayaan harus ditunjukkan dalam sikap dan prilaku manusia Manggarai terhadap alam.


Orang Manggarai adalah makhluk berbudaya dan pencipta budaya. Beragam kekayaan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan orang Manggarai adalah hasil cipta, rasa dan karsa orang Manggarai itu sendiri, termasuk go’ét


Karena itu, go’ét adalah produk budaya dan identitas orang Manggarai itu sendiri. Menjadikan obyek alam sebagai media penggungkapan go’ét tersebut adalah printah untuk “menghormati” alam. Karena diyakini bahwa alam mempunyai nilai yang harus diteladani atau dipedomani dalam hidup.


Untuk jaman sekarang, go’ét harus ditempatkan dan dimaknai sebagai tindakan rekonsiliasi dalam membangkitkan kesadaran akan peran penting alam dalam mengharmoniskan kehidupan seluruh ciptaan, termasuk manusia.

 

Makna Religius Go’ét

Dimensi religius dalam kebudayaan orang Manggarai tidak sulit untuk ditelisik, Orang Manggarai menggakui akan adanya pengada yang mengadakan segala sesuatu dari ketidak adaan (extra nihilo). Dia begitu jauh tidak terselami, namun sangat dekat dalam kehidupan orang Manggarai, Dia adalah Mori jari agu Dédék; ata ciri agu Wowo «Tuhan Pencipta» (Mukese, 2012:119).


Singkatnya, orang Manggarai mengakui adanya Wujud Tertinggi. Pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi disebutkan dalam berbagai nama; nama- nama itu antara lain: Mori (n) (Tuhan/pemilik), Mori (n) agu Ngarag (TuhanPemilik dan Penguasa), Mori Kraeng (Tuhan dari segala tuhan), Jari agu Dedek, Ame/Ema eta-Ine/Ende wa, Parn agu Kolopn, Ciri agu Wowo, Jari Agu Wowo (Penjadi dan Pembentuk), Jari agu Danding (Penjadi dan Pelahir) Mori Sombang (Tuhan Raja) (Verheijen, dalam Lanur, 2012: 101; Verheijen, dalam Sutam, 2013/2014: 52). 


Nama-nama wujud tertinggi juga sebagai perinsip kesuburan, dengan ungkapan Ame eta Ine wa (Bapa diatas Mama di Bawah, Rona eta mai-Wina Wa mai ( Sutam, 203/2014: 52). Sedangakan Wujud Tertinggi dalam kaitanya dengan Kosmos, yakni Wulang agu Leso (Bulan dan Matahari), Parn agu Kolep (Terbit/Timur-Terbenam/Barat), ulun le-wain lau (Hulu/utara- Hilir) dan lain-lain (Sutam, 2012/2013).

 

Demikianlah makna Go’ét Manggarai, semoga bermanfaat


Feliks Hatam

 

 

Iklan

×
Berita Terbaru Update