-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kampung Wae Tana dengan Keindahan Alam dan Hamparan Alang-Alang, Selalu Merindukan Banyak Hal || Perjalanan Hidupku/My Life Journey, Episode 2

| Minggu, Maret 12, 2023 WIB Last Updated 2023-03-14T11:17:01Z



Halo
..pembaca setia felikshatamid.com, setelah mengulas kisah masa kecil saya pada episode 1 di rubrik My Life Journey atau perjalan hidupku atau juga life history, maka di eposede 2 ini saya akan menceritakan kepada Anda tentang keindahan  dan keseruan masa kecilku di kampung Wae Tana.


Ulasan ini penting agar Anda mengetahui dan memiliki gambaran tentang cerita saya pada episode selanjutnya. 


Nah, daripada lama-lama dan keberu kopi dingin, dan habis, lebih baik saya mulai menceritakan tentang kampung halaman saya..  


Kampung Wae Tana, terletak di Desa Golo Sembea, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan negara Indonesia tentunya.


Keadaan alamnya dari dulu hingga saat ini (2023) masih asli, hijau nan sejuk. Penduduknya sangat ramah, pekerja keras, beragama dan berbudaya. 


Penduduk di kampung Wae Tana mayoritas bertani, dengan potensi unggulan kemiri, coklat, pinang, porang, dan jenis kayu produksi yang tumbuh segar dan menjanjikan yakni mahoni  (Swietenia mahagoni), dan lain-lain.


Ketika berbicara tentang kampung, maka alam merupakan aspek yang tidak luput dari perhatian, begitupan dengan alam kampung Wae Tana yang sampai saat ini masih asli dan arsi. 


Sementara pemukinan, tidak jauh dari alam yang indah itu. Hal ini yang membuat masa kecil saya dan teman-teman seusia saya kala itu, bahkan sampai saat ini  mempunyai sensasi tersendiri.  Kami tidak kekurangan tempat atau halaman untuk bermain. 

Panorama Kampung Wetana (Gambar: Screenshot dari Google Maps/6/1/2021)

Masa itu, usia yang paling rajin ,,,wkwkwk untuk mencari kayu api. Tanpa disuruh. Pergi mencari kayu api gerombolan, sambil membawa ketapel.  Bahkan di masa itu, bagi saya dan teman-teman seusia saya kala itu, kurang kren kalau tidak memiliki katapel.


Usai mencari kayu api, tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Nggak seru, kalau langsung pulang, wkwkwk.


Permainan yang sering dilakukan adalah panjat pohon. Untuk permainan ini ada yang  semangat panjat, tetapi nggak bisa turun.  Nah, untuk permainan ini jangan ditiru, hanya bisa dilakukan oleh orang profesional seperti kami yang dibesarkan di pedalaman.  Minimal, bisa naik dan bisa turun, wkwkwk.


Termasuk melatih buat pondok-pondokan dan membuat gasing. Bahkan mencari buah-buahan yang bisa dimakan. Nah, soal buah-buahan di hutan yang bisa dimakan, jangan ragu, kami tahu semuanya,,wkwkwk.


Keseruan lainya yang membuat lupa pulang rumah adalah main senapan bambu, dulu kami menyebutnya sendepong. Selain itu ada juga yang berminat main gatrik, dimasa itu kami menyebutnya main kedodor


Jenis permainan selanjutnya adalah main geret-geretan menggunakan pelepah pohon kelapa atau pohon pinang. Nah untuk permainan ini, pantang mundur sebelum bagian belakang celana membekas dengan tanah.


Sementara permainan yang membutuhkan sedikit uang adalah permainan karet dan meriam bambu. Tentu masih banyak lagi permainan tradisional yang kami lakukan di masa itu.


Uniknya, untuk setiap jenis permainan mempunyai masanya masing-masing. Namun sebagian besar dimainkan musim kering. Sementara untuk meriam bambu, setiap malam akhir tahun .


Nah, itulah gambaran singkat keistimewaan  dan keseruan saya dengan teman-teman di waktu kecil. Sekarang lanjut menceritan kampung Wae Tana.


Kampung Wae Tana memiliki topografi berbukit-bukit, dan di ujung kampung terdapat lapangan bola kaki dan bola voli.


Bila Anda Ke Kampung Wae Tana

Mungkin suatu saat sobat felikshatamid.com berkeinginan untuk sekedar menghirup udara segar atau ingin berkemah di hamparan alang-alang Wae Tana, atau untuk sekedar mengetahui letak kampung ini.


Bila dari Ruteng atau Labuan Bajo, cabang  menuju kampung Wae Tana adalah di Golo Menes. Dari Golo Menes akan melewati kampung Muntung-Tondong Raja dan Leka.


Nah, sampai di Leka, akan berhadapan dengan gunung Golo Sembea, dan disitulah cerita perjalanan Anda menuju Kampung Wae Tana dimulai. 


Pasalnya, berjalan kaki melawati bukit-bukit kecil dan lembah. Sampai di puncak, dapat melihat dengan rapih dan jelas beberapa kampung di Kecamatan Mbeliling, dan di Kecamatan Boleng.


Sesampai di kaki bukit, perbatasan hutan lindung dengan kebun masyarakat Wae Tana, dapat melihat keindahan pohon kemiri dan pohon mahoni yang ditanam dengan rapi. Dari tempat yang sama akan melihat hamparan alang-alang dan sawah dengan keindahan yang luar biasa. Pemandangan dengan warna hijau itu memanjakan mata.


Halnya ketika Anda datang dari Terang (Kecamatan Boleng) atau datang dari Pacar, cabang menuju kampung ini adalah di Ngaet dengan melewati kampung Ka’ung (Desa Golo Lujang). Sesampai di Ka’ung Anda akan memiliki gambaran tentang medan dan pemandangannya.


Sebab dari kampung Ka’ung Anda akan melihat kampung Wae Tana. Bedanya adalah, ketika dari Ka’ung kita melewati sungai dengan diameter kalinya yang luas. Masyarakat setempat menamakannya Wae Dampul.


Selama perjalanan menuju kampung ini, baik dari kampung Leka (Desa Golo Sembea) maupun dari Ngaet dengan melewati kampung Ka’ung (Desa Golo Lujang) selalu berjalan di bawah rimbunan pepohonan, benafas lega dari kesejukan alam, sembari mendengar kicauan burung.


Kendaraan

Sebenarnya bisa menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua dari Kampung Leka atau dari Ka'ung. Sebab kenyataanya beberapa masyarakat Wae Tana yang sudah terbiasa mengendarai sepeda motor sampai ke kampung Wae Tana, baik musim hujan apalagi saat musim kering. 


Karena memang pada tahun 2015 silam jalur Leka sampai di Wae Tana dibuka (digusur) pertama kali, hingga sampai saat ini belum ada peningkatan. Bahkan beberapa kali kendaraan roda empat bisa masuk di kampung ini.

Dari Leke, Jalan Menujua Wae Tana (Gambar: Screenshot dari Google Maps; 6/1/2021)


Disarankan bagi pemula, sebaiknya jalan kaki saja, kecuali kalau musim kering. Tetapi bagi mereka yang suka olah raga motor trail atau untuk event adventure trail atau traveling menggunakan motor trail  medan ini sangat cocok. 

INTINYA, JALAN KAKI ATAU MENGGUNAKAN KENDAARAN KEPUTUSAN ADA DI TANGAN ANDA..!!


Tiba di Wae Tana

Saat tiba di kampung Wae Tana, akan dikelilingi oleh gunung-gunung, disambut dengan pemandangan alam kampung yang asri, pagar indah yang rapih, dan beberapa rumah panggung,  serta di tengah kampung terdapat compang, di bagian utara kampung terdapat lapangan, 100 meter dari lapangan itu teradapat kuburan.


Selain itu, kampung Wae Tana juga menyediakan keindahan air pancuran. Walaupun saat ini sudah ada air keran, namun mata air yang berada di ujung kampung (bagian selatan) merupakan sumber air utama yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Wae Tana secara turun temurun, dan air ini selalu terselip ceritera-ceritera indah.


Sementera keindahan lainnya adalah di bagian Timur kampung Wae Tana. Sekitar 20 Meter dari pemukiman warga terdapat kapela sebagai tempat ibadah umat Katolik dan sungai yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai kebutuhan. Kami menamakannya Wae Lamas.

Dari Wae Lamas, berjalan kurang lebih 500 Meter. Nah, di sinilah akan melihat hamparan alang-alang. Di antara hamparan itu, ada dua bukit kecil yang menakjubkan, yaitu Golo Wonot dan Wontong Wase.


Bila berdiri di Puncak Golo Wonot, dari sana, akan melihat wilayah Lembor, melihat keindahan kampung Wae Tana, dan melihat hamparan alang-alang yang ada di Wae Tana dan melihat kampung Ka’ung, serta pemamdangan alam lainya yang hijau dan mempesona. Begitupun ketika berada di puncak hamparan alang-alang Wontong Wase.


Selanjutnya, ketika Anda bermalam di Wae Tana, tidak boleh malu apalagi sungkan, sebab masyarakat di kampung ini ramah dan akan melayani dengan segenap hati.


Namun ada beberapa hal yang harus diketahui pertama:  Sampai saat ini kampung kecil ini belum masuk PLN, beberapa masyarakat di sana menggunakan pelita dan tenaga surya, dan beberapanya lagi menggunakan mesin genset. 


Kedua, sampai saat ini di kampung ini jaringan komunikasi belum bisa diakses secara bebas. Hanya ada ditempat tertentu.


Merantau Sejak Usia 7 Tahun

Diketahui, bahwa di kampung ini, tidak ada sekolah, maka anak-anak usia sekolah Dasar dari kampung ini, harus ‘merantau’ ke kampung tentangga, yakni Tondong Raja. Sehingga sejak umur 7 tahun kami dibiasakan untuk mandiri. Selama sepekan (Senin s/d Sabtu) anak-anak usia sekolah Dasar berada di  Tondang Raja, ada yang tinggal dengan keluarga atau tinggal di asrama.


Bila hari Sabtu tiba, saat pulang sekolah, kembali ke kampung halaman untuk mengobati rindu dengan bapa dan mama serta keluarga sekaligus mengambil bekal. Lalu hari Minggu, kembali lagi ke Tondong Raja.


Singkatnya, bahwa walaupun masih jauh dari kemajuan seperti akses jalan raya, listrik dan jaringan, namun semangat anak-anak dari kampung ini tidak pernah pudar untuk mengeyam pendidikan. Walau harus jauh dari orang tua dalam rentang usia sekolah dasar. Buktinya setiap tahun selalu ada yang masuk dan tamat, mulai dari jenjang SD s/d Perguruan Tinggi.



***

Kaki mungil kami melangkah dengan pasti, tidak sedikitpun mengeluh melewati hutan lindung itu. Ayunan daun-daun dan kicauan burung menjadi saksi perjuangan dan harapan kami.


Disetiap kaki kami melangkah ada harapan, kelak para pengambil kebijakan, menaburkan kebijaksanaan di tanah ini, di kampung ini, dan di gunung ini dengan meninggkatkan status jalan itu yang menghubungkan dua kecamatan, yakni Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Boleng dengan jalur melewati Golo Menes (Jalan Negara)–Muntung-Tondong Raja-Leka-Wae Tana-Ka’ung dan Ngaet (Jalur Terang-Ruteng)


Ini bukan mengadu atau menyesal tentang mengapa kami ada di sini. Sebab alam di kampung ini membuat kami berani untuk selalu bersyukur tentang kenyataan ini. Banyak hasil dari bumi ini yang kami nikmati. 


Hasil bumi di kampung ini ujung tombak kami mempertahankan hidup. Hasil alam di sini jalan merubah nasib kami. Walau selalu mengandalkan tenaga manusia untuk membawanya ke Pasar.


Pendapatan kami di sini, tidak hanya tergantung pada hasil panen, tetapi keutungan kami tergantung pada kemampuan kami untuk membawanya atau memikulunya ke Pasar. 


Memikul hasil bumi dengan mengandalkan kekuatan fisik bukanlah salah satu cara, tetapi satu-satunya cara untuk menjual hasil bumi. Tidak ada cara lain.


Kami tidak pasrah apalagi putus asah. Sebab setiap tetesan embun di hari Rabu saat kami hendak ke Pasar menjual hasil bumi, selalu ada harapan. Kelak setiap pergantian nahkoda di negeri ini mulai dari Kabupaten-Provinsi hingga Pusat merubah harapan kami menjadi kenyataan.


Merubah harapan manjadi kenyataan, sebagaimana harapan kami sejak kecil dan harapan adik-adik kami di setiap lintasan generasi, kelak kebijaksanna terjadi di kampung ini, salah satunya  meningkatkan status jalan itu dan menghubungkan dua kecamatan itu, yakni kecamatan Mbeliling dan kecamatan Boleng dengan jalur melewati Golo Menes (Jalan Negara) –Muntung-Tondong Raja-Leka-Wae Tana-Ka’ung dan Ngaet (Jalur Terang-Ruteng) ataupun sebaliknya.


Itulah ulasan sedikit mengenai kampung halaman penulis, yang selalu dibanggakan dan menyimpan seluas rindu dan harapan. Wae Tana, kampung halamanku yang penuh dengan keindahan alam dan masyarakatnya yang pekerja keras dan ramah.

Ket: Perjalanan saat pulang berlibur ke Kampung Wae Tana (Foto/Dokpri, Juli 2022)

Itulah ulasan sedikit mengenai Kampung Wae Tana dengan keindahan alam dan hamparan alang-alang, selalu mampu "mengundag" rindu untuk kembali, walaupun telah merantau bertahun-tahun, tetap ada rindu untuk kembali pulang.  


Kampung Wae Tanah dengan alamnya yang indah adlah awal cerita perjuangan saya dan teman-teman saya yang sama-sama dilahirkan dan dibesarkan di kampung ini. Di kampung ini, kisah perjalanan hidup saya dimulai, dibentuk dan ditempa. Banyak keseruan di masa kecil yang pada saat itu bagi saya sebagai anak-anak hanyalah permainan biasa, namun kini, saat diingatkan kembali, dari keseruan itu banyak yang mengedukasi saya tentang artinya persahabatan, mencintai dan bersahabat dengan alam, kerja keras walau dalam keadaan serba terbatas.


Hingga pada akhirnya, saya berpikir, "saya (kami) memang lahir di kampung, tetapi saya (kami) bukan kampungan.


BERSAMBUNG


EPISODE Sebelumnya

Episode 1-Klik di sini

Episode SELANJUTNYA, SEGERA TAYANG


JANGAN LUPA BERTAMU DI : INDOBHINNEKA TV


Iklan

×
Berita Terbaru Update