-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Moderasi beragama: Dialog Teks dan Konteks

| Kamis, Februari 09, 2023 WIB Last Updated 2023-02-08T18:55:08Z

  

Ilustrasi (Sumber gambar: https://jateng.kemenag.go.id)

Moderasi beragama: Dialog Teks dan Konteks-Seperti kata Ir. Soekarno “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama…Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.." Ir. Soekarno.

Presiden Ir. Soekarno ingin masyarakat Indonesia beragama. Menjalankan ajaran agama menurut keyakinannya, dan menghargai orang berkeyakinan beda. Secara eksplisit,  Ir. Soekarno juga menegaskan pentingnya moderasi beragama.

Salah satu indikator Bhinneka Tunggal Ika adalah menghargai keberagaman. Diekspresikan  melalui sikap toleransi. Bertoleransi adalah indikator moderasi beragama yang holistik. Moderasi beragama bukan alternatif. Sebaliknya keharusan ditegah pluralistik dan kemajemukan Indonesia.

Kementerian agama dalam buku Moderasi Beragama terbitan tahun 2019 menyatakan,  sikap berimbang dan adil  menjadi kunci moderasi.

Bersikap seimbang dan adil selalu terjadi bersamaan. Sikap ini mestinya sebagai penerjemah kebajikan agama yang muncul dari keteduhan hati, lalu melebur dalam relasi. Karena itu, prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam konsep moderasi berarti berpegang teguh pada keyakinan sendiri, dan tetap terbuka pada perbedaan.

Sikap balance dan justice secara total baru terjadi apabila seseorang memiliki tiga karakter utama dalam dirinya, yakni kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage). Sehingga sikap moderat dalam beragama, selalu memilih jalan tengah; akan lebih mudah diwujudkan apabila seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama sehingga dapat bersikap bijak, tahan godaan, disertai bersikap tulus tanpa beban (Kemenag 2019:20)

Berhadapan dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang multikultikultural,  moderasi beragama sebagai perekat. Sehingga setiap orang memiliki tempat menjalankan agamanya, tanpa mempersoalkan keyakinan lain. Sebab, kemajemukan Indonesia adalah rahmat Allah. Allah membiarkan manusia beriman untuk berada bersama dengan yang lain. Prinsipnya, moderasi beragama tidak mempersempit ajaran agama. Sebaliknya, jalan menuju penghayatan ajaran agama secara total dan holistik.

 

Dialog

Manusia dibawah keyakinan beragama adalah aktor utama moderasi beragama. Mengaktualisasikan prinsip moderasi beragama adalah perumpamaan teks dan konteks. Dialog teks  dan konteks, niscaya moderasi beragama holistik menemukan jalannya. Sehingga, moderasi beragama dipahami juga sebagai upaya kontekstual.

Ulfah Fajarini menjelaskan, moderasi beragama sebagai kemampuan memadukan antara teks dan konteks. Keduanya saling interaktif. Dipahami, teks dan konteks tidak saling menundukan. Sebaliknya mendialogkan keduanya secara dinamis. Ini adalah upaya pendekatan holistik yang kontekstual terhadap teks (Arief Subhan dan Abdallah (Edtr) 2021:264-274)

Diyakini, masing-masing agama, bahwa ajaran yang tertulis dalam adalah Kitab Suci adalah Firman Allah. Selanjutnya Firman itu menjadi acuan beribadah. Baik ibadah sebagai ritual keagamaan maupun gerakan, tindakan dan relasi sesama agama maupun antar penganut agama. Menjalankan Firman-Nya penuh iman adalah jalan menuju keselamatan.

Konteks dipahami sebagai pengalaman yang dialami oleh sekelompok orang baik di masa lalu maupun yang terjadi saat ini, budaya, dan lokasi sosial (Bevans 2010:230). Maka, konteks adalah tentang bagaimana manusia membangun relasi dan interaksi dengan dirinya (interpersonal), relasi dengan sesama (sosial), relasi dengan alam (ekologis), relasi dengan Tuhan (religius). Sehingga teks dan konteks mesti dipahami secara bersamaan dan integratif. Jadi prinsip keadilan dan keseimbangan hubungan antara teks dan konteks ini menjadi salah satu karakteristik moderasi beragama holistik.

Mengutip pernyataan Menag RI Yaqut Cholil Qoumas bahwa “Moderasi Beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini. Ada empat indikator seseorang dikatakan memiliki pemahaman keagamaan yang moderasi, yaitu: komitmen kebangsaan yang kuat, toleransi beragama, menghindari kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal." (Baca: Kemenang.go.id, 9/3/2022)

Budaya lokal adalah  locus moderasi beragama. Maka, menjadi pemahaman bersama, bahwa substansi moderasi beragama menyangkut penghayatan ajaran agama, bukan  mengubah ajaran agama. Teks dan konteks adalah dua hal yang memiliki perbedaan. Namun keduanya menjadi jalan moderasi beragama.


 Diantara

Mendialogkan teks dan konteks adalah jalan penghayatan agama yang kontekstual. Posisi kita di antara teks dan konteks. Dengan posisi ini, tidak mengabaikan atau memprioritaskan salah satunya. Pentingnya, agar kita mendialogkan keduanya secara berimbang dan adil. Hasilnya, dari moderasi pemikiran, menuju moderasi gerakan dan sikap. Karena itu, diperlukan dua hal, yaitu literasi agama dan literasi sosial.

Abdul Ghaffar, dikutip Ghufron, ada tiga aspek yang diperlukan dalam literasi agama, yaitu Pertama, memiliki pemahaman terhadap agama yang dipeluk. Kedua, memiliki pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan agama-agama yang lain. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama (Kompas.id, 12/4/2017). Dan literasi sosial pertama mengetahui budaya dan karakteristik masyarakat setempat, kedua memiliki kemampuan kepekaan dengan situasi setempat, ketiga memiliki motivasi dan keterbukaan untuk berada bersama dengan masyarakat setempat.

Literasi agama dan sosial adalah hal penting untuk mendialogkan teks dan konteks. Sehingga menghasilkan tiga moderasi sekaligus, yakni: “moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi perbuatan,” (Kemenag, 2019:22-127).

Pertama, moderasi pemikiran menekankan agar seseorang dengan pemikiran keagamaan yang moderat mestinya adil dan berimbang dalam mendialogkan pengetahuan keagamaan dengan konteks. Ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks. Sehingga pemikiran keagamaan tidak semata-mata bertumpu pada teks-teks. Alhasil seseorang yang moderat dengan pemikiran keagamaan yang cukup, tidak semata tekstual. Disaat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks. Moderasi pemikiran melebur menjadi berkeadilan, berdamai dan cinta kasih.

Kedua, moderasi gerakan. Penekananya adalah menjadi pribadi yang menggerakan kebaikan. Dengan literasi agama mumpuni, diikuti moderasi pemikiran dimanfaatkan untuk mengamalkan kebaikan. Mewartakan kebaikan dalam konteks. Menjelma dengan menjauhkan diri dari kemungkaran, praktik intoleran dan radikalisme.

Ketiga moderasi perbuatan. Penekananya adalah moderasi tradisi dan praktik keagamaan setempat. Bahwa penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat didasari oleh mendialogkan teks dan konteks. Keduanya saling terbuka membangun dialog, niscaya menghasilkan kebudayaan baru, seperti membumikan moderasi beragama, dengan terbuka pada kearifan lokal dan adat-istiadat.

Berawal dari moderasi pikiran, mengalir melalui gerakan dan perbuatan, niscaya membuat kita teguh dalam keyakinan, nyaman membangun relasi antar sesama agama dan antar umat beragama. Serentak agama tidak bersifat tertutup (inclusive), sebaliknya terbuka  (exclusive) terhadap realitas.

Menghayati ajaran agama dengan berpijak pada budaya lokal, kita sedang mengisi kemerdekaan. Soekarno mengajak kita untuk saling menghormati “...Marilah kita amalkan, jalankan agama,…dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.." Ir. Soekarno.

@Feliks Hatam

YUK, Simak artikel menarik lainya di GOOGLE NEWS


Iklan

×
Berita Terbaru Update