-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Gegara Tiga Detik dan Tisu

| Minggu, Februari 12, 2023 WIB Last Updated 2023-02-12T12:25:36Z
Ilustrasi (Summber: haibunda.com)


Gegara Tiga Detik dan Tisu-ANTARA modus atau modal awal. Antara kesempatan atau saatnya hati bicara. Antara cinta yang lama terpendam dan kesempatan yang memihak. Antara riang melihat kawan bahagia setelah sekian lama terkungkung karena kerasnya kehidupan atau tanda cinta berbenih. Antara mengatakan cinta atau mengajak sahabat kembali menikmati alam kampung setelah 6 bulan terkurung di dalam rumah karena Covid-19. Entahlah, tisu ini awal dari semuanya. Luka dan duka 6 bulan, terhempas dalam 3 detik.

 

Semua karena Covid-19. Covid-19 menimpa sosok yang memiliki paras manis dan rupawan. Ramah berwajah senyum dengan tutur kata yang amat lembut adalah karya Tuhan yang paling dikagumi barisan kaum Adam. Argani adalah nama gadis berambut panjang dan berkulit melon kulis itu. Gadis manis putri satu-satunya dari pasangan Raknala dan Raksa. Orang tuanya berprofesi sebagai petani. Mereka beralamat  di Dusun Gosip, RT Cemburu Tinggi dan RW MKO alias Memanfaatkan Keburukan Orang lain.

 

Sehabis kuliah, Argani pulang ke kampung halaman. Di kampung, ia menampilkan diri apa adanya, selalu mengambil bagian dalam berbagai acara dan kegiatan sosial. Termasuk selalu ikut ke sawah bersama orang tuanya.

 

Sosok pekerja keras, wajah ramah dan sopan santun tidak hanya berhasil mencuri perhatian masyarakat sekampung tetapi semua orang yang “bergelar” lelaki single.

 

***


Tiga bulan berlalu, ia membantu orang tuanya, berbaur dengan masyarakat, selalu membagi kisah dengan muda-mudi di kampungnya. Hari berlalu, banyak kisah tertulis, hingga kembali mengingat hal-hal indah selama kuliah.

 

“Tantangan saat ini, tidak sebanding dengan tantangan yang saya hadapi saat kuliah. Aku semakin sadar, setiap kesempatan dan perjuangan selalu ada tantangan”. Akhirnya ia memutuskan pergi bertemu dengan temannya. Jaraknya lumayan jauh, dari kampung Argani.

 

Pagi menyapa, mentari bersinar, tandanya ia harus pergi. Pergi beradu rindu  ke sahabatnya, yang lama tidak saling jumpa setelah selesai kuliah. Masker dan hand teaser adalah barang yang wajib untuk dibawa. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam, ia pun tiba di rumah sahabatnya.

 

Dua hari lamanya, ia tinggal di rumah Riani, sahabatnya. Di hari ketiga ia pamit untuk kembali ke kampung halamanya.

 

***

Tiga hari kemudian, dikabarkan, Riani dinyatakan positif covid-19. Mendengar hal itu, Argani panik, dan segera menghubunginya.

 

“Riani, kamu positif Covid?” Ya Ni. Jawab Riani. Argani, salah satu yang berkontak erat denganya mengalami hal yang sama dengan sahabatnya, yakni positif Covid-19

 

Sejak makhluk renik asal Wuhan masuk dalam diri gadis itu, keluarganya terpuruk. Mereka terpuruk bukan saja karena ekonomi atau karena kesehatan Argani yang tidak kunjung pulih. Namun karena satu alasan yang bahkan lebih berat dari Coronavirus-19.

 

Waktu berlalu, setelah dilakukan berbagai upaya penyembuhan oleh tenaga medis, Riani dan Anggariani dikabarkan sembuh dari Covid-19.

 

Sembuh dari Covid-19 mengembalikan semangat Riani. “Virus ini benar-benar ada, dan aku sudah mengalami ini. Sakit dan terpuruk rasanya. Dan aku bersyukur, saat ini saya sudah sembuh berkat tangan-tangan lembut para tenaga medis” ungkap Riani saat dikunjungi oleh teman-temanya.

 

“Kawan-kawanku, lebih baik mencegah, dari pada mengobati. Memakai masker, menjauhi kerumunan atau menjaga jarak, dan mencuci tangan harus dijadikan kebiasaan,” lanjut Riani yang diikuti anggukan kepala oleh teman-temanya sebagai tanda setuju untuk kata-kata yang diungkapkan Riani.

 

***

 

Riani dan Agriani adalah sosok yang hampir sama, pribadi periang, merangkul, humoris dan penuh sikap tanggung jawab. Namun, kisah dan kenyataan Riani dengan Argani setelah sembuh dari Covid-19 sangatlah berbeda. Riani tetap menjadi Riani yang dikenal oleh teman-teman dan lingkunganya. Sementera Argani, berubah 360 derajat bahkan mentalnya terpuruk karena tidak dapat menahan kata-kata yang sering didengarkannya dari masyarakat sekitar.

 

“Jangan bertamu di situ. Anaknya pernah kena Covid-19. Jangan mendekati Argani, dia pernah kena covid-19” itulah kalimat yang selalu terdengar jelas di telinganya setiap hari, saat orang-orang lewat di depan rumahnya.

 

“Benar, saya pernah kena Covid-19. Itu nyata, dan sekarang saya sudah sembuh. Mengapa orang-orang berpikir untuk terus menjauhi saya, dengan alasan saya “mantan” pasien Covid-19. Aku tidak peduli, kamu berkata apa, yang penting sekarang aku sudah sehat” gumamnya dalam hati.

 

Ia pun memberanikan diri keluar rumah, untuk menikmati udara segar di halaman rumahnya, dan kakinya terus melangkah sampai ke ujung kampung, setelah beberapa bulan melewati berbagai tahapan penyembuhan Covid-19.

 

Lho, kenapa mereka menjauh? Ini tidak seperti biasanya. Anak-anak yang biasanya selalu berjalan bersama saya sambil bercerita, tidak mendekatiku” kata Argani sambil melihat sekelompok anak-anak yang sedang bermain.

 

“Halo adik-adik”, sapa Argani sambil berjalan mendekati anak-anak itu. Tak ada satupun yang menjawab. Mereka pelan-pelan menghindar darinya.

 

“Ada apa dibalik ini semua. Apakah karena saya pernah kena Covid-19. Tapi’kan saya sudah sembuh”. Menyadari dirinya dijauhkan oleh masyarakat, bahkan oleh anak-anak, ia bergerak mundur dari kelompok anak-anak itu, dan langsung membalikan tubuhnya untuk kembali ke rumah dengan penuh kecewa.

 

Saat Argani membalikan badannya, tidak sengaja  ia melihat seorang ibu dari salah satu anak yang sedang bermain itu, berdiri ke-arah kelompok anak-anak itu sambil menutup bibir  dengan jari telunjuk, tanda larang atau semacamnya untuk tidak mendekati Argani.

 

Melihat itu, dirinya menahan tangis, dan bergerak cepat lebih dari biasanya untuk kembali ke rumah. Berharap menikmati udara segar sambil bercerita setelah sembuh, justru mendapatkan luka yang lebih sakit dari sebelumnya. Seperti tertusuk duri yang dilakukan terus menerus diatas luka sama. Hatinya hancur. “Dunia ini kejam. Dunia ini kering kasih sayang, gersang empati. Lebih baik aku terus diisolasi dari pada merasakan dunia yang kejam ini,” guman Argani sambil mempercepat langkah kaki menuju rumahnya.

 

Sejak kejadian itu, dirinya terpuruk, sosoknya yang dikenal sebagai periang berubah menjadi pendiam, sosok yang dikenal sebagai pribadi yang merangkul, kini menjadi pribadi yang menyendiri, Selama sehari, kata-kata yang keluar dari mulutnya dapat dihitung. Sejak saat itu pula, ia tidak keluar rumah dan selalu menyendiri di kamarnya.

 

***

 

Sudah enam bulan Agriani tidak pernah keluar rumah. Tidak seperti biasanya, tepatnya sejak dirinya dinyatakan positif covid-19. “Tetapi dia sudah sembuhkan?” Tanya Bhadrika kepada Pandya.

 

Argani, Bhadrika dan Pandya adalah tiga serangkai sejak Sekolah Dasar. Mereka sangat akrab dan selalu kompak.  Argani dikenal sosok yang paling cantik diantara mereka. Alasannya sederhana saja, karena Argani satu-satunya perempuan di antara mereka.

 

Namun sejak empat tahun terakhir mereka jarang bertemu di dunia nyata, sebab mereka menempuh pendidikan untuk mengais sarjana di kota yang berbeda. Mereka hanya bertemu di dunia maya melalui media sosial, Facebook dan WhatsApp.

 

Ketiganya sudah diwisuda awal Januari 2020. Argani, kembali lebih awal ke kampung sebelum Bhadrika dan Pandya. Bhadrika memutuskan untuk bekerja di kota tempat ia menempuh pendidikan, sedangkan Pandya memutuskan untuk menikmati suasana kota setelah selesai kuliah.

 

Pan, panggilan akrab Pandya di mulut sahabatnya Bhadrika dan Argani. “Mengapa sekarang kamu baru kembali ke kampung, kitakan wisudanya dibulan yang sama?” Tanya Drika. Panggilan akrab untuk Bhadrika.

 

“Saya menikmati suasana kota dulu Drika,” jawab Pan sambil tertawa. “Gaya amat lho,” Sambung Drika. “Lho, emang waktu empat tahun selama kau ada di kota itu belum cukup Pan?” Tanya Drika yang lagi penasaran.

 

“Ya, bicara puas dan tidaknya itu tergantung isi dompet bos, tetapi suasana kota yang gue maksud adalah untuk merasakan suasana kota saat kuliah dan setelah kuliah. Lho tahukan Drika, saat kuliah, banyak tugas dan kegiatan, jadi kita tidak terlalu bebas untuk pesiar atau jalan-jalan. Nah, begitu setelah kuliah, saya ingin merasakan bagaimana rasanya jalan-jalan tanpa harus memikirkan tugas kuliah dan jadwal kuliah.”

 

“Aneh lho”. Celoteh Drika. “Kok aneh,” jawab Pan sambil menentengkan segelas kopi. “Yah iyalah, semua orang  kalau sudah kuliah, pilihannya dua, pulang kampung untuk mencari kerja di kampung dan tetap tinggal dikota sambil cari kerja”.

 

“Yah, Dri-Dri, itukan orang bukan saya”. Jawab Pan sambil tertawa. “Ah terserah lu deh, pusing gue dengarnya”, sambung Drika.

 

“Kalau kamu ngapain saja setelah kuliah, mengapa tidak langsung pulang Drika? Hemmm, lho nanya? nanya saya?” Sambung Drika. “Nggak, nanya om dan tante di dapur”. Jawab Pan dalam nada kesal. “Ya iyalah, masa saya tanya orang lain”. Sambung Pan.

 

“Seminggu setelah wisuda saya cari kerja Pan, dan Puji Tuhan saya diterima, akhirnya kerja deh”. “Wuih, generasi hebat”. Ungkap Pan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Terus, mengapa kamu pulang ke kampung kalau memang sudah ada tempat kerja?” “Wualah, mau gledek balik ya Pan?” Nggak ini serius Drika.  “Sejak kapan kamu serius kalau bicara Pan? “Ah Drika, kamu jawab aja, main putar balik lagi,”  sambung Pan.

 

Drika: “Pan”

Pan: “yah”

Drika: “Kau tahu makhluk yang datang dari Wuhan itu?”

Pan: “Apa itu”

Drika: “Kau tahu tidak?”


Pan: “Hubunganya apa ya? Yang saya tanya kenapa lu balik kampung, kok malah nanya makhluk dari wuhan, apa hubungnya coba?”

Drika: “Ya jelaslah Pan ada hubunganya”

Pan: “dari dulu lho ribet…kalau menjawab pertanyaan orang”

Drika: (tertawa) “Saya pulang karena C-o-r-o-n-a. Makhluk renik yang berasal dari Wuhan. Akibatnya, di tempat kerja saya ada perampingan karyawan karena pemasukan selalu menurun. Bagaimana Jelas?”

Pan: “Coba dari tadi jawab begitu saja. S-E-L-E-S-A-I”

 

“Oh, yah Dri, kamu pernah ketemu Argani?” “Belum Pan?” “Jahat kamu Dri, saya pikir lu sudah ketemu”. “Pan, jangan vonis jahat dulu dong, gue mau jelasin”. “Oke, saya siap dengar”, Sambung Pandya

 

“Begini Pan, Argani beberapa bulan lalu positif Covid-19. Anehnya, sebelum dia dinyatakan positif, orang-orang di kampung ini seperti dokter semua dan semua orang mendadak jadi pintar tentang Covid-19 padahal hasil tesnya belum keluar waktu itu. Keadaan semakin kacau, saat Argani dinyatakan positif dan melakukan segala arahan dokter untuk proses pemulihan. Salah satunya melaksanakan isolasi di tempat yang telah ditetapkan oleh pemerintah”.

 

“Sejak saat itu, orang-orang “mengatai” dirinya. Padahal yang dibutuhkan saat itu adalah menguatkan dirinya, tetapi malah sebaliknya. Hanya orang tuanya  yang menguatkan Argani kala itu, tanpa lelah, tanpa peduli kata-kata orang tentang putri mereka”.

 

“Argani dikucilkan Pan”, lanjut Badrika dengan wajah sedih. Setelah melakukan perawatan intensif, Argani dinyatakan negatif Covid-19.

 

Tetapi saat Argani sembuh keadaan kembali membaik toh Drika? Tanya Pan. “Seharusnya begitu Pan, tetapi kenyataan justru sebaliknya. Keadaan semakin kacau Pan,” sambung Drika.

 

“Kasihan sekali Argani,” sambung Pan. “Sekarang keadaan Argani benar-benar semakin membaik toh Drika?” Drika enggan menjawab pertanyaan Pandya. “Jawab Drika!”. “Drika, Argani sudah sehat kan? Jawab Drika! Mengapa kamu diam Drika?” “Ya Pan, Argani sehat-sehat, sekarang dia di rumahnya”. “Ah kamu, untuk jawab itu saja susah, jantung saya hampir keluar dari sarangnya Drika”. “Pan, Pan,” sambung Drika sambil tersenyum.

 

“Tetapi ada hal yang membuat saya tidak tega melihat perubahan Argani Pan,” sambung Drika. “Argani yang kita kenal sebagai sosok periang, merangkul, humoris, kini semuanya berubah, dan sampai saat ini Argani belum keluar rumah, selalu menyendiri di kamarnya. Itu cerita yang saya dengar dari mama beberapa hari yang lalu”.

 

“Dri, saya masih heran, dia sudah sembuh sejak Oktober, tetapi mengapa dia enggan keluar rumah dan sangat terpukul seperti itu?”

 

“Begini Pan, awalnya saya memikirkan hal yang sama. Setelah saya 14 hari di sini, saya berniat untuk mengunjungi dia ke rumahnya, tetapi Bapak dan Mama melarang saya. Yah, saat itu saya berpikir mungkin ada benarnya mereka melarang saya, karena saya baru sampai di kampung.”

 

“Masih mendingan kamu Pan, saat sampai di kampung ini tidak ada orang yang “mengataimu”, dibandingkan saya dulu”.

 

“Waktu saya tiba di kampung ini, semua orang begitu takut, bahkan ada  yang mengatakan saya harus tinggal di kebun selama 14 hari. Paling menyedihkan lagi, ada yang sampai mengancam kedua orang tuaku”.

 

“Pokoknya kalau dia membawa virus di kampung ini, kita usir mereka.” Itu kalimat yang sering saya dengar dari balik rumah Pan. Akhirnya waktu itu, Bapa dan mama melarang saya untuk keluar rumah selama 14 hari.

 

“Pan, orang tua mana yang tidak sakit hati saat anaknya dikata-katai seperti itu oleh tetangga. Pribadi mana yang tidak sakit hati saat mendengar kalimat itu.”

 

Pan, tidak mengeluarkan satu katapun, dia membiarkan temannya melampiaskan rasa sakit hatinya. “Pan, saya juga takut mati, seperti mereka. Mereka  tidak pernah berpikir bahwa untuk sampai di sini kita melewati berbagai macam tes. Saya tidak mungkin berani pulang waktu itu, kalau saya dinyatakan reaktif atau positif corona.”

 

“Maaf Pan, saya baru ceritakan semuanya tentang perasaan ini.” “Tidak apa-apa Dri, saya  tahu apa yang sedang kau alami saat itu.” Kata Pan sambil menepuk bahu temannya yang sedang menangis.

 

“Saya baru paham Pan, apa yang saya alami kala itu lebih berat dari apa yang dirasakan oleh Argani saat ini. Saya yang tidak mengalami apa-apa saja menjadi buah bibir masyarakat di sini waktu itu, apalagi Argani. Dia sangat terpukul Pan. Kita membantu dia untuk bangkit”. 

 

“Kasihan sekali Argani,” sambung Pandya. “Apa yang bisa kita lakukan Pandya?” Tanya Badrika. “Begini Dri, sengaja saya datang bertemu kamu, agar kita sama-sama ke rumahnya Argani, untuk memberi dia semangat, setidaknya dia kembali ceriah seperti Argani yang kita kenal”. “Baik Pan, saya sepakat, kita ke rumahnya sekarang,” ungkap Drika sambil menganggukan kepala tanda setuju dengan kata-kata Pandya.

 

“Baik Pan, kita siap-siap ke rumahnya. Saya ke kamar dulu ganti baju”

Baik Dri.

 

Tok-tok.., Aiss, ini bahaya Pan. Mama sudah sampai, kita bakal tidak diijinkan”. Kata Drika sambil menuju pintu utama.

 

“Dri, buka pintu.!”. “Ya, mama, tunggu. Aduh Pan, bagaimana ini”. “Drika, kita tinggal kasih tahu saja di mama sebentar, ayo cepat buka pintunya”. Sambung Pandya.

 

“Mama, baru pulang?”, “Ya nak”. “Bapa belum pulang kah Mama?” Tanya Drika dalam nada cemas. “Dia singgah di Kios tadi?” Sambung mama Drika.

 

“Tanta, selamat siang”. Pan memberi salam dengan nada lembut kepada mamanya Drika.

 

Hae…Nana, tumben bertamu. Sudah dari tadi? “Yah tante, kebetulan kemarin baru saya tahu Drika sudah di sini”

 

“Memangnya Drika, tidak WhatsApp Nana?” “Ae tanta, tahu saja Drika ini, sering kerjain orang”.

 

“Woeh. Pan, coba cek HPmu, berapa kali saya WA, SMS, telpon kalau saya sudah sampai”. Sambung Drika dalam nada bantah. “Tidak ada WAmu di saya, Dri”. “Wualah parah lu Pan”  

 

“Ya ..sudah-sudah. Mama pusing, kalau kamu sudah kumpul bersama”. Sambung Tikta, ibunya Drika.

 

***

 

Pan memandang Drika, sambil mengedipkan mata. Isyarat agar Drika meminta izin ke mamanya untuk bertamu ke rumahnya Argani.

 

“Mama, kami boleh jalan-jalan ko mama?” Tanya Drika sambil memandang ibunya. “Tumben, kamu berdua meminta izin, biasanya jalan saja”. Jawab ibu Tikta.

 

“Memangnya kamu berdua ini mau ke mana? Atau jangan-jangan mau ke rumah calon mertua? Ajak saya dong sekali-kali, supaya mama juga bisa bertemu calon anak mantu”.

 

Menyambung jawaban mamanya, Pan dan Drika tertawa saja. Kok malah ketawa, sambung ibu Tikta dalam dengan wajah tersenyum.

 

“Begini mama, sambung Drika, mamakan tahu, dari dulu kami selalu bersama, saya, Pan dan, (sambung ibu Tikta) Argani. Padahal mama masih ingat. Sambung Drika dalam nada membujuk mamanya.

 

“Oh, kamu dua mau ke rumahnya Argani?”  “Ya mama,” sambung Drika menjawab pertanyaan mamanya.

 

“Ya, boleh-boleh saja. Semoga kamu bisa menghibur dia, dan mengembalikan Argani yang mama kenal, periang dan humoris. Saya juga kasihan dengan Argani, saat mamanya kemarin menceritakan perubahan Argani”, Terima kasih mama kata Drika dengan nada Rian. Terima kasih tanta, sambung Pandya.

 

***

“Argani, Saya Badrika dan Pandya”, sahut Badrika sambil mengetuk Pintu. Argani mendengar suara itu, namun ia malu untuk membuka pintu.

 

Berkali-kali Badrika dan Pandya memanggil Argani, tidak ada tanda-tanda untuk membuka Pintu, hingga akhirnya Mama Argani yang membukakan pintu.

 

“Tanta selamat Siang”, sahut Badrika dan Pandya kompak. “Badrika dan Pandya, mari nak, silahkan masuk” sambut Mama Ragnala dengan wajah riang. 

 

“Mari, silahkan duduk,” lanjut Ibu Raknala sambil mempersilahkan Drika dan Pandya untuk duduk.

 

“Terima kasih tante. Argani mana tanda” tanya Badrika. “Oh, dia di kamarnya nak, mungkin masih tidur. Saya panggilkan ya”, kata Ibu Raknala yang tidak sanggup menceritakan keadaan Argani yang sebenarnya. 

 

***

Hampir tiga puluh menit lamanya, Ibu Ragnala membujuk anaknya untuk bertemu dengan sahabat lamanya.

 

“Argani, kami datang untuk bertemu denganmu. Kami tidak peduli apa kata orang tentangmu. Kami sudah mengenalmu sejak dulu Argani,” sahut Badrika dengan nada lembut dari ruang tamu.

 

Mendengar kalimat itu, hati Argani luluh, dan ia beranjak dari tempat tidur dan menemui sahabatnya yang sudah lama menunggu dirinya di ruang tamu.

 

Yah gitu dong, ini baru Argani yang kami kenal” ungkap Pandya untuk secara perlahan menghibur Argani.

 

“Argani, maaf sebelumnya kami baru datang. Kami datang untukmu. Kami tidak peduli apa kata orang tentangmu, yang kami peduli adalah kamu” ungkap Drika untuk menguatkan Argani. Tidak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut Argani.

 

Argani apa sebenarnya yang sedang terjadi? Tanya Pandya. “Ayo dong Argani, ceritakan kepada kami, mungkin kami bisa bantu” sambung Drika.

 

“Kita ini sahabat Argani, kami tidak tega melihatmu seperti ini. Saya dan Pandia sengaja datang untuk membantumu” Drika menyakinkan Argani.

 

Suara yang ditunggu pun mulai terdengar, “Terima kasih Drika dan Pandia, kamu sudah datang” sahut Argani sambil menundukkan kepala.

 

Argani pun mulai bercerita, saat saya dinyatakan positif, semua masyarakat di kampung ini ramai membicarakan saya. Hanya bapak dan mama yang menguatkan saya sejak saat itu sampai hari ini. Puji Tuhan, setelah hasil tes keluar, bapa dan mama dinyatakan negative.

 

Walaupun mereka dinyatakan negatif, tetapi kala itu, bapa dan mama berinisiatif untuk tetap insolasi mandiri selama 14 hari. Sementara saya, melaksanakan isolasi ditempat yang telah disediakan oleh pemerintah

 

Kurang lebih satu bulan saya dirawat oleh pihak medis, dan puji tuhan, akhirnya saya dinyatakan negative. Sehari setelah dinyatakan negative, saya diizinkan pulang ke rumah dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

 

Saat saya pulang, bukannya peneguhan yang dapat, tetapi saya dijauhi dan dibuli oleh masyarakat di sini, bahkan ketika saya lewat mereka menjauh dariku, mereka melarang anak-anak mereka untuk mendekatiku. Sakit sekali rasanya. Melihat hal itu, mama saya hanya menangis dan terus menguatkan aku.

 

Bahkan sempat saya berpikir bahwa, yang lebih berat saat sembuh dari covid adalah situasi sosial. Sakit sekali rasanya. Orang tua mana yang tega melihat anaknya dijauhi dan dicibirkan oleh tetangga.

 

Seminggu saya berusaha melawan stigma itu, namun akhirnya saya tidak kuat. Sejak saat itu, saya lebih memilih di rumah saja, dan menjauh dari orang-orang. Sejak saat itu, kebahagiaanku direnggut, aku tidak seperti yang kalian kenal lagi Pan dan Drika.

 

Aku adalah Argani Covid-19 yang akan membawa musibah untuk kampung ini sebagaimana orang-orang menyebutku di kampung ini. Sebaiknya kalian jangan bergaul denganku. Cukup hanya saya yang dijuahi di kampung ini, jangan kalian. Saya tidak mau kalian merasakan apa yang sedang saya rasakan.

 

Drika berusaha memberikan kekuatan kepada Argania yang sedang menangis “Argani, kami sangat mengenal dirimu. Mengapa kamu cepat pasrah? Toh sekarang kamu sudah sehat. Ani, kamu tidak sendirian, saya dan Pan siap membantumu”.

 

“Kami ingin melihat Argani yang kami kenal, ceriah, ramah, dan kuat”.  Pan turut menguatkan Argani. “Kalian tidak tahu, apa yang saya rasakan, Ini berat Pan dan Drika. Sulit untuk dilupakan”.

Pan dengan nada lembut terus menyakinkan Argani. “Argani kami memang tidak mengalami langsung apa yang kau alami, tetapi ijinkan kami dengan cara kami membantumu, agar masyarakat di sini tidak salah lagi menganggapmu”.

 

“Mulai hari ini, kau harus keluar rumah, biar sekedar bertamu di rumah saya dan Pan”. Ajak Drika untuk memulihkan keadaan. “Bapa dan mama kami  tidak keberatan. Kita berusaha pelan-pelan Argani. Sampai kapan, kau harus menahan ini sendirian, kita saling kenal sejak lama, kami tidak tega melihat keadaan kamu seperti ini. Ayolah Ani, kami di sini siap membantumu.”

 

“Kita sama-sama mematahkan stigma itu. Dengan ini juga kita memberikan edukasi kepada masyarakat. Jangan Pasrah” ajak Drika yang didukung oleh Pandia.

 

Mendengar kerelaan dari Pan dan Drika, Ibunya Argani, Raknala yang dari tadi mendengar pembicaraan dari baling ruang tamu berlinang air mata. Antara terharu dan kagum dengan sosok Pan dan Drika yang tidak ingin salah satu sahabat mereka sejak kecil terpuruk. Sementara Ayah Agriani lebih memilih duduk di teras belakang rumah, tak tahan mendengar curahan hati buah hatinya kepada sahabatnya.

 

“Argani, berhentilah menangis dan menghukum diri sendiri. Itu justru memburuk keadaan yang berpengaruh pada kesehatan. Harus bangkit Argani”. Ungkap Pandya yang berusaha meyakinkan Argani untuk secara perlahan bangkit dari keterpurukan.

 

Pandya dan Drika, tidak tega melihat Argani yang terus menangis. Kata-katanya tidak terdengar jelas, air mata terus mengalir dari di pipinya. Melihat itu, Drika mengambil selembar tisu yang ada di meja, berdiri dan mengusap air mata Argani.

 

Cie..cie, Drika, manfaatkan kesempatan lohhh”. Celoteh Pan saat melihat Drika mendekat dan mengusap air mata Agriani.

 

Melihat tindakan Drika dan mendengar celotehan  Pan, senyum manis dan khas gadis berpipi lesung itu pun muncul. “Ah Drika,,manfaatkan kesempatan lho”. Kata Anggraini dalam nada manja. “Nah gitu dong, harus senyum, kami ingin melihat kau tersenyum lagi, dan kami berhasil,” sambung Pandya.

 

“Itu baru namanya Agriani yang paling cantik diantara kami. Ya’kan Pan?”. Tanya Drika berharap ada kata setuju dari Pan. “Ya…memang, Agrini itu sahabat kita yang paling cantik, heboh, manja dan sulit diatur”.

 

“Apa? Sulit diatur, lu kali Pan yang sulit diatur”. Bantah Agriani dalam nada semangat. “Soal cantik, yang memang lah, karena saya saja perempuan yang betah bersahabat dengan kalian berdua”. Sambung agriani. “Wualah…sudah mulai sombong looo..Ni”. Sambung Pan dalam nada canda.

 

Berawal dari usap air mata, suasana rumah yang sebelumnya diselimuti oleh kesedihan, kini kembali menjadi rumah yang penuh dengan riang. Semakin berpikir untuk menemukan cara menghibur orang yang terpuruk, akan semakin sulit untuk dilakukan.

 

Tidak perlu memikirkan hal yang hebat untuk membantu orang lain, kalau memang ada cara sederhana yang mendatangkan kebahagian luar biasa bagi orang yang sedang dalam kesulitan. Seperti Drika dan Pan, dengan selembar tisu, dilakukan dengan tulus, memancarkan kebahagian dari wajah Argani yang sekian lama terkurung dalam kamar.

 

Mendengar obrolan yang hangat itu, ayah dan ibunya Argani menuju ruang tamu, duduk dan bercanda ria dengan Drika, Pan dan buah hati mereka, Argiani.

 

Hari semakin sore, udara yang biasanya dingin, terasa hangat. Sejak saat itulah, Argani bangkit dan berani menikmati udara segar di luar rumahnya. Bersama Drika dan Pan, Argani bertamu di Rumah Drika.


@Feliks Hatam


Keterangan*) Cerpen ini telah dipublikasikan di Letangmedia.com, tahun 2021.


[Ini adalah cerita fiktif, bila ada kesemaan kisah, latar, dan nama, itu adalah kebetulan saja]



YUK, Simak artikel menarik lainya di GOOGLE NEWS





Iklan

×
Berita Terbaru Update