-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Paulo Freire: Pendidikan Liberatif-Transformatif sebagai Suatu Model Pendidikan Ideal dan Humanis dan Implementasinya dalam Konteks Pendidikan di Indonesia

| Selasa, Januari 31, 2023 WIB Last Updated 2023-03-11T19:24:48Z


Penulis. RD. Stephanus Turibius Rahmat




 Gagasan Paulo Freire Tentang  Pendidikan  yang Liberatif-Transformatif  sebagai  Suatu Model Pendidikan yang Ideal dan Humanis dan Implementasinya dalam Konteks Pendidikan di Indonesia*


Oleh: RD. Stephanus Turibius Rahmat.

Penulis adalah Dosen UNIKA St. Paulus Ruteng, Mahasiswa S3 UNJ


I.LATAR BELAKANG

“Pembebasan itu seperti melahirkan seorang bayi, yang menimbulkan rasa sakit. Manusia yang termanusiakan adalah manusia baru, yang hanya dapat hidup terus jika kontradiksi penindas-tertindas telah digantikan dengan humanisasi segenap umat manusia” (Paulo Freire).


Kata-kata Paulo Freire ini menginspirasi penulis untuk mengembangkan gagasannya tentang pendidikan yang membebaskan dan mentransformasi hidup manusia dalam konteks pendidikan di Indonesia. Pendidikan model seperti ini justru memanusiakan manusia, dan bukan membelenggu apalagi menindas manusia. Pendidikan menjadi salah satu unsur penentu eksistensi suatu bangsa atau negara. Oleh karena itu, setiap bangsa atau negara harus memberi perhatian yang serius pada dimensi pendidikan. Sebab, kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang ada dalam negera tersebut. Bangsa atau negara yang lalai dan tidak serius memperhatikan aspek pendidikan akan menjadi negara yang terkebelakang, tidak akan berkembang serta tidak memiliki daya saing dengan negara-negara lain.


Kualitas pendidikan yang rendah justu dapat menghambat suatu negara atau bangsa untuk membangun dalam pelbagai dimensi kehidupannya. Dalam arti ini, maka pendidikan bukan hanya berkaitan dengan persoalan akademis, tetapi justru terintegrasi dengan dimensi-dimensi kehidupan manusia yang lain seperti persoalan ekonomi, pembangunan, serta nilai-nilai moral yang dapat membentuk karakter sumber daya manusia yang unggul, andal serta memiliki harkat dan martabat sebagai manusia yang berbudaya. Selain itu, pendidikan bertujuan untuk membentuk generasi masa depan yang berkualitas, berprestasi serta berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, setiap komponen bangsa baik pada level pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah), dan nonformal (masyarakat) serta pemerintah harus menyadari perannya masing-masing dalam menciptakan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Tugas ini sudah ditegaskan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yakni Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Artinya, pendidikan merupakan faktor utama dalam kehidupan suatu bangsa. Pendidikan menjadi penentu arah keberlanjutan kehidupan suatu generasi.


Atas dasar itulah, maka proses pendidikan harus dilakukan secara sadar dan terencana, tanpa suatu proses yang membelenggu. Hal ini sudah ditegaskan dengan sangat jelas dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Kemendikbud RI, 2003). Selain itu, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kemendikbud RI, 2003).


Realitas menunjukkan bahwa pendidikan di negara Indonesia masih menyimpan sejumlah persoalan. Tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi pemerintah belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Situasi sosial, kultural masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang semakin merisaukan. Terdapat pelbagai kenyataan dalam dunia pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia seperti hancurnya nilai-nilai moral (dekadensi moral), merebaknya ketidakadilan, praktik korupsi yang tidak pernah berakhir, sikap antisosial, intoleran, hoaks, hate speech (ujaran kebencian), tidaknya rasa solidaritas, tidak adanya sikap empati dan berbela rasa. 


Kenyataan ini menunjukkan bahwa usaha perbaikan di bidang pendidikan ternyata tidak hanya cukup dengan memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, melainkan membutuhkan perencanaan kurikulum yang sangat matang dan relevan dengan kondisi serta kebutuhan bangsa Indonesia. Selain persoalan di atas, kemajuan IPTEKS juga telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia yakni terjadi suatu perubahan ke arah yang positif konstuktif dan juga terdapat perubahan yang negatif destruktif. Artinya, masyarakat kita telah merasakan perubahan  nilai yang sangat cepat dan terjadinya ekspektasi yang tidak terduga sebagai dampak kemajuan teknologi, informasi dan globalisasi yang melahirkan orang-orang yang mengatakan bahwa kebenaran dan kesalahan itu relatif.


Hal yang sama juga diangkat oleh Prof. Dr. Hafid Abbs dalam buku yang berjudul “Meluruskan Arah Pendidikan” (Hafid Abbas, 2019). Prof Hafid mengangkat beberapa isu pendidikan nasional dua dekade terakhir yakni persoalan guru, kurikulum, ujian nasional, pengelolaan anggaran pendidikan, standarisasi, sertifikasi, wajib belajar, isu pluralisme, hak asasi manusia, dan ancaman disintegrasi bangsa (Hafid Abbas, 2019). Prof Hafid menegaskan bahwa kerisauan itu muncul karena pengelolaan pendidikan di berbagai lini dinilai mengalami disorientasi yang mendesak secepatnya dikoreksi ke arah yang benar. Misalnya, mengapa dengan anggaran pendidikan yang amat besar – minimal 20 persen APBN dan APBD – aspek pendidikan bangsa Indonesia dinilai terendah di dunia. Mengapa program sertifikasi guru yang biayanya ratusan triliun, tetapi hasilnya sama seperti tanpa program sertifikasi? Atas dasar itulah, Prof Hafid menulis bahwa perlunya meluruskan arah pendidikan sebagai suatu ikhtiar untuk menuntun arah kebijakan, perencanaan, dan penggelolaan pendidikan pada semua jenjang, jenis, dan jalur agar tidak salah arah (Hafid Abbas, 2019).


Salah satu upaya untuk meluruskan arah pendidikan Bangsa Indonesia adalah dengan belajar pada konsep pendidikan yang membebaskan dan berdaya transformatif yang digaungkan oleh Paulo Freire. Sebab, jika pendidikan dijalankan dalam suasana kebebasan (merdeka), tanpa ada tekanan, atau penindasan, maka proses pendidikan itu akan berjalan dengan baik dan dapat memanusia manusia (proses humanisasi). Model pendidikan ini digambarkan dengan sangat jelas oleh Paulo Freire dalam buku yang berjudul Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas) (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000). Model pendidikan yang membebaskan ini justru memberi ruang dan kesempatan kepada setiap pribadi untuk berpikir, berkreasi dan berinovasi. Akibatnya, orang belajar bukan atas dasar rasa takut, tetapi karena mengetahui apa yang menjadi tujuan dari sesuatu yang dipelajari tersebut. Pendidikan yang benar sebagai proses transfer of knowledge (transfer pengetahuan) dan transfer of culture atau value (transfer nilai atau budaya)  harus terjadi dalam suasana yang bebas dan merdeka,  ada dialog dan proses dialektika yang bersifat konstruktif.

 

II. Gagasan Paulo Freire Tentang Pendidikan Liberatif-Transformatif dan Implementasinya di Indonesia


 2.1 Biografi Paulo  Freire


Paulo Freire yang bernama lengkap Paulo Reglus Neves Freire lahir pada tanggal 19 september 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil. Ayahnya bernama Joquim Temistockles Freire, yakni seorang polisi militer dan ibunya Edeltrus Neves Freire yang berasal dari Pernambuco.


Keluarga Freire Berasal dari kelas menengah, tetapi sejak kecil dia hidup dalam situasi miskin, karena keluarganya tertimpa kemunduran finansial yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat sekitar tahun 1929 dan juga menular ke Brazil (APPLE et al., 1993). Dari situasi inilah Freire menemukan dirinya sebagai bagian dari “kaum rombeng dari bumi”. Keadaan tersebut menimbulkan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan dan perjuangannya, sehingga Freire sangat menyadari apa artinya lapar bagi anak-anak sekolah dasar. Keluarga Freire kemudian pindah ke Jabotao pada tahun 1931 dan di sanalah kemudian ayahnya meninggal. Prof. Richard Shaull, menceritakan bahwa pada tahap ini Freire memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada “perjuangan melawan kelaparan, sehingga tidak ada anak lain yang merasakan penderitaan yang dia sendiri  alami” (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000). 


Usia 15 tahun (dua tahun di belakang kelompok umurnya) Paulo Freire berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan nilai pas-pasan sekedar cukup memenuhi syarat masuk sekolah lanjutan. Namun setelah keadaan kelurganya sedikit membaik, ia dapat menyelesaikan sekolahnya dan kemudian ia masuk Universitas Recife (Daniel Schugurensky, 2014). Paulo Freire di Universitas tersebut masuk ke Fakultas Hukum sembari mempelajari filsafat dan psikologi bahasa. Ia juga bekerja paruh waktu sebagai instruktur bahasa Portugis di sekolah lanjutan, dan seperti kebanyakan remaja, ia mulai mempertanyakan ketidaksesuaian yang ada antara khotbah yang didengarnya di Gereja dengan kenyataan keidupan sehari-hari. Pada tahun 1944, Freire menikahi Elza Maia Costa Oliviera dari Recife, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala sekolah). Freire dan Elza mendapat karunia dua orang putra dan tiga orang putri. Freire berkata bahwa saat itulah minatnya pada teori-teori pendidikan mulai muncul dan mulai membaca buku-buku pendidikan, filsafat dan sosiologi pendidikan dari pada buku-buku hukum (APPLE et al., 1993).


Pada tahun 1959,  ia meraih gelar doktor dalam bidang sejarah dan filsafat pendidikan (APPLE et al., 1993). Pada saat inilah, ia pertama kalinya mengemukakan pemikirannya tentang filsafat pendidikan melalui desertasinya di Universitas Recife, dan kemudian melalui karya-karyanya sebagai guru besar sejarah dan filsafat pendidikan di Universitas Recife, juga dalam berbagai percobaannya dalam pengajaran kaum buta huruf di kota yang sama. Pada awal tahunn 1960-an, Brazil mengalami masa-masa sulit. 


Gerakan-gerakan reformasi baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan Kristen, semuanya mendesakkan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Pada waktu itu Brazil mempunyai penduduk sekitar 34,5 juta jiwa dan hanya 15,5 juta yang hanya dapat mengikuti pemilihan umum. Hak ikut serta dalam pemilihan umun di Brazil pada saat itu dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam menuliskan nama masing-masing. Sehingga tidak mengherankan jika program kenal aksara kerap sekali dikaitkan dengan usaha peningkatan kesadaran politik penduduk, terlebih penduduk pedalaman yang telah lama menjadi alat untuk mendukung kepentingan-kepentingan golongan minoritas yang berkuasa.


Dalam suasana seperti ini, Freire kemudian menjabat sebagai direktur Cultural Extention Service yang pertama di Universitas of Recife yang pada masanya melaksanakan program pemberantasan buta huruf kepada ribuan petani miskin di timur laut (APPLE et al., 1993; Daniel Schugurensky, 2014). Metode yang dipakai kemudian dikenal dengan Metode Paulo Freire, meskipun dia sendiri tidak pernah menamakan metodenya dengan sebutan seperti itu. Sejak Juni 1963 sampai dengan Maret 1946, tim pemberantas buta huruf Freire telah bekerja ke seluruh pelosok Negeri. Mereka berhasil menarik minat orang yang buta huruf untuk kemudian belajar baca-tulis. Dengan kemampuan baca-tulis tersebut, masyarakat Brazil mulai dapat mengungkapkan keputusan-keputusan mereka sendiri dari hari ke hari yang mempengaruhi kehidupan mereka. Metode pemberantasan buta huruf Freire mengarah pada metode berpolitik tanpa menjadi kontestan, dan di mata militer dan tuan tanah dianggap sebagai suatu hal yang radikal.


Pada April 1964, militer meruntuhkan rezim Goulart, dan seluruh gerakan progresif diintimidasi, dan Freire ditangkap dan di masukkan ke dalam penjara selama 70 hari karena aktivitas “subversif”nya (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000). Selama di penjara, Freire memulai karya pendidikan pertamanya yaitu Education as the Practice of Freedom. Buku ini merupakan suatu analisis atas kegagalannya mempengaruhi perubahan di Brazil dan harus diselesaikannya di Chili karena setelah dipenjara selama 70 hari, Freire di buang ke sana. Menjelang akhir dasawarsa 60-an, pekerjaan Freire membawanya kontak dengan budaya baru yang mengubah pemikirannya secara signifikan.


Menjelang tahun 1970, dia meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat atas undangan Harvard University, dan dia mengajar sebagai profesor tamu di Harvard’s Center for Studies in Education and Development and Social Change. Pada tahun-tahun itu, Amerika Serikat memasuki periode yang penuh dengan kekerasan. Hal ini terjadi karena  penentangan keterlibatan negara dalam perang Vietnam membawa politik dan militansi ke dalam dunia kampus. Gejolak masalah rasial juga mengikutsertakan kekerasan di jalanan kota Amerika Serikat. 


Juru bicara kaum minoritas dan pemprotes perang, mengajar dan memasuki dunia kampus, dan Freire terpengaruh kareananya. Dalam situasi seperti itu, Freire menyadari bahwa tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi dan politik dunia ketiga berlangsung tidak terbatas. Dia memperluas definisinya tentang dunia ketiga dari masalah geografis ke konsep politis, dan tema kekerasan menjadi pikiran utama dalam tulisannya sejak saat itu. Selama periode itu pula Freire menulis karya terkenalnya yaitu Pedagogy of the Oppressed. Pendidikan menjadi jalur permanen pembebasan dan berada dalam dua tahap. Tahap pertama, adalah di mana orang-orang menjadi sadar dari penindasan mereka dan melalui praxis mereka mengubah keadaan mereka. Tahap kedua, dibangun di atas tahap yang pertama dan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.


Pada awal tahun 1970-an, Freire menjadi konsultan dan akhirnya menjabat sebagai penasehat khusus Kantor Pendidikan Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa (APPLE et al., 1993; Daniel Schugurensky, 2014). Freire berkeliling dunia mengajar dan mengamalkan usahanya untuk membantu program pendidikan negara-negara yang sedang berkembang di Asia dan Afrika, seperti Tanzania dan Guenia Bissau. Dia juga menjadi ketua komite eksekutif Institute For Cultural Action (IDAC) yang bermarkas di Jenewa. Lembaga itu mengadakan sejumlah penelitian dan berexperimen atas dasar pemikiran-pemikiran Paulo Freire. Paulo Freire masih tetap hidup dalam perasingan dari negara tempat di mana ia dilahirkan sampai pertengahan tahun 1979. 


Kemudian dia diizinkan kembali dari negara pembuangannya ke Brazil tempat kelahirannya sewaktu Joao Batista Figuelredo menjabat sebagai kepala negara dan kemudian Freire diangkat menjadi guru besar di Universitas Negeri Campinas dan Universitas Katolik Sao Paulo. Tahun 1986, Elza istri Paulo Freire meninggal dunia, kemudian Freire menikah lagi dengan Ana Maria Araujo mantan mahasiswinya yang tetap meneruskan kegiatan dalam pendidikan radikal. Tahun 1988, dia diangkat menjadi menteri pendidikan untuk kota Sao Paulo, dan pada tahun 1992, Freire merayakan ulang tahunnya yang ke 70 bersama lebih dari dua ratus rekan pendidik, para pembaharu pendidikan, sarjana dan aktivis-aktivis “grass-roots”. Perayaan ulang tahun ini juga diisi dengan workshop selama tiga hari dan pesta yang disponsori oleh New School For Social Research, yang menandai prestasi dan keberhasilan hidup dan karya Paulo Freire.


Pada 2 Mei 1997, Paulo Reglus Neves Freire meninggal di Rio de Janeiro karena gagal jantung pada usia 75 tahun(APPLE et al., 1993; Daniel Schugurensky, 2014; John Dale, 2010). Dia telah mewariskan sesuatu yang tidak pernah lekang oleh waktu yaitu berupa komitmen, cinta dan harapan bagi kaum tertindas di seluruh dunia. Gagasan dan pikiran Paulo Freire telah mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya.


2.2 Pendidikan Pembebasan  Menurut  Paulo  Freire


Freire mengungkapkan bahwa pendidikan sebagai praktik pembebasan (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000, 53; Shih, 2018). Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan. Hal ini menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin dan semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. 


Rakyat pedesaan harus patuh dan tunduk dibawah perintah kaum elite perkotaan. Ini menurut freire disebabkan oleh masifikasi golongan elite (Beckett, 2013; Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000). Pendidikan menurut Paulo Freire sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa disebut dengan usaha untuk “memanusiakan manusia” (humanisasi). Dengan menggunakan pendekatan humanis, Freire membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif. Manusia adalah makhluk praksis yang dapat beraksi dan berefleksi dengan menggunakan pikirannya.


Konsep pendidikan pembebasan Paulo Freire ini lebih menekankan pada pembentukan kesadaran kritis (consientisasi) bahwa manusia sendiri yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik  supaya muncul kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas. Bagi Freire, pendidikan sebagai suatu upaya konkret untuk membebaskan masyarakat dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Selain itu, pendidikan yang membebaskan membantu manusia untuk menyadari eksistensinya sebagai pribadi yang otonom dan mampu berinteraksi atau berkomunikasi dengan yang lain.

 

Paulo Freire membandingkan konsep pendidikan pembebasan dengan konsep pendidikan gaya bank (Beckett, 2013; Gadotti, 1994). Pendidikan gaya bank bersifat monologis karena berpusat pada guru, sedangkan pendidikan pembebasan bersifat dialogis karena terjadi dialog edukatif antara guru dan siswa. Sistem pendidikan gaya bank sering juga disebut sebagai konsep pendidikan tradisional. Dalam sistem pendidikan ini, siswa tidak dilihat sebagai pribadi yang dinamis dan kreatif. Siswa justru dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. 


Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka gurunya semakin baik. Jika wadah itu semakin patuh, maka ia semakin baik. Tugas siswa adalah menghafal seluruh yang diceritrakan oleh guru tanpa mengerti atau memahami. Siswa menjadi obyek, dan bukan subyek. Pendidikan model seperti ini menyebabkan proses pembelajaran berlangsung monologis karena guru tidak memberikan pengertian kepada siswa, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta.


Atas dasar itulah, pendidikan gaya bank yang terjadi di Brazil pada zaman itu menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesama  manusia (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000).  Banking education (pendidikan gaya bank) disamakan dengan kegiatan menabung karena para siswa seperti celengan dan guru adalah penabungnya. Sebenarnya yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Dalam pendidikan gaya bank, siswa hanya dijejali dengan ilmu secara satu arah dengan tujuan mendapatkan nilai-nilai kuantitatif yang dituju. Praktik pendidikan hanya dipahami sebatas sarana pewarisan ilmu (transfer of knowledge). Pendidikan tidak dipahami sebagai transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekankan pada proses pendewasaan pemikiran dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi realitas sosial yang ada di lingkungan sekitar. Konsep pendidikan gaya bank memahami pengetahuan sebagai sebuah anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000; John Dale, 2010).


Pendidikan gaya bank inilah yang telah menjadi alat untuk menindas kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Pendidikan gaya bank tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Siswa hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Keberhasilan dalam metode ini adalah ketika siswa dapat menghapalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya.


Konsep pendidikan gaya bank justru memelihara dan mempertajam kontradiksi antara guru dan siswa melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000; John Dale, 2010; Gadotti, 1994; Beckett, 2013), yaitu : (1) Guru Mengajar, siswa diajar; (2) Guru mengetahui sesuatu, siswa tidak tahu apa-apa; (3) Guru Berpikir, siswa dipikirkan; (4) Guru bercerita, siswa mendengarkan; (5) Guru menentukan aturan, siswa diatur; (6) Guru Memaksakan aturanya, siswa patuh; (7) Guru berbuat,  para siswa meniru perilakunya; (8) Guru memilih mata pelajaran, siswa menyesuaikan pelajaran pilihan guru; (9) Guru mencampuradukan kewenangan ilmu, dan kewenangan jabatan yang tujuannya menghambat kebebasan siswa; (10) Guru sebagai subyek dalam proses pembelajar, siswa  sebagai objek belajar.


Model pendidikan “gaya bank” telah mematikan kreativitas siswa karena siswa tidak mempunyai kewenangan atau kebebasan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan atau mengeksplorasikan bakat dan minatnya. Bakat dan minat siswa telah tersekat oleh otoritas guru yang telah menghegemoni proses dan model-model serta metode-metode pembelajaran.


2.4 Pendidikan Liberatif-Transformatif Sebagai Model Pendidikan yang Ideal dan  Humanis


Pendidikan yang liberatif dan berdaya transformatif menjadi cita-cita semua bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Pendidikan model ini dapat membentuk manusia untuk memiliki kesadaran kritis tentang dirinya dan realitas ada disekitarnya. Kesadaran kritis inilah yang membantu manusia menyadari dirinya sebagai subyek dalam pendidikan. Hal ini tentu sejalan dengan tujuan pendidikan di Indonesia yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.


Praktik pendidikan bangsa kita secara umum masih jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Terkait dengan hal ini, Prof. Hafid Abbas menegaskan bahwa dalam dua-tiga dekade terakhir, kebijakan, perencanaan, dan pengelolaan pendidikan nasional sungguh-sungguh mengalami disorientasi, diselimuti beragam paradoks, terbelah, dan mengalami pelapukan dari dalam (Hafid Abbas, 2019). Bahkan, peringkat pendidikan di Indonesia berada pada urutan terendah di dunia. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi karena Bangsa Indonesia termasuk negara yang menetapkan anggaran pendidikannya minimal 20 persen dari keseluruhan jumlah anggaran belanjanya. Ternyata, anggaran pendidikan yang besar itu tidak berkontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. 


Lebih lanjut, Prof. Hafid mengangkat satu fakta bahwa bangsa Indonesia mungkin satu-satunya negara di dunia yang memberlakukan kebijakan orang-orang miskin membantu orang kaya dalam pemberian layanan pendidikan (Hafid Abbas, 2019). Kebijakan ini menyebabkan pendidikan nasional kita terisolasi dari perannya sebagai instrumen pemerata (the great equalizer) yang dapat membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemelaratan.


Keadaan bangsa Indonesia mirip dengan kerisauan Paulo Freire pada awal tahun 1960-an. Pendidikan hanya menghasilkan “a culture of scilience” dan membisu di atas realitas kehidupan masyarakatnya (Hafid Abbas, 2019). Kemiskinan, penggangguran, kemelaran, dan kesenjangan sosial yang terjadi di negeri ini sesungguhnya berpangkal pada kegagalan penggelolaan pendidikan. Pendidikan terbelah yang menghasilkan kesenjangan pengetahuan yang semakin besar antara desa dan kota, antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia.


Realitas yang lain juga menunjukkan bahwa sebagian besar satuan pendidikan (sekolah) di Indonesia hanya berfokus pada target kuantitatif yang bisa diukur, seperti misalnya harus lulus mata pelajaran dengan nilai tertentu, mendapatkan penghargaan, dan lain sebagainya. Akibatnya, setiap lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk membentuk peserta didik supaya memiliki kecerdasan akademik (kognitif), dan kurang memperhatikan pengembangan watak dan karakter peserta didik. Bahkan, masih terdapat juga lembaga pendidikan yang memperlakukan peserta seperti “bank” sebagaimana yang didengungkan oleh Paulo Freire. Para guru menjejali peserta didik dengan sejumlah pengetahuan (transfer of knowledge) tanpa memberi ruang bagi peserta didik untuk berpikir sendiri, berkreasi dan berinovasi. Peserta didik cenderung menjadi pasif, dan guru yang aktif.


Selain itu, persoalan pendidikan di Indonesia yakni birokratisasi pendidikan lebih didahulukan dari upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Metode dialogis yang sangat ditekankan oleh Freire seakan-akan tidak menemukan lahan untuk bertumbuh di Indonesia (Freire, 2008). Belum lagi penjungkirbalikan paham akan keanekaragaman budaya yang diyakini Freire dapat melepas energi terbungkam yang ada di dalamnya, berbalik menjadi gerakan-gerakan sektarian yang sudah diramalkan Freire sebelumnya. Belum lagi dininabobokannya realita tentang adanya masalah penindasan lebih dasyat yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang melanda bangsa Indonesia dengan pemaksaan terselubung lewat pasar komoditas, informasi dan pencitraan yang mendorong ke arah konsumerisme. Semuanya ini sepertinya tidak berbeda jauh dengan fakta yang diceritakan Freire di Brasil pada awal tahun 1960-an.


Berhadapan dengan persoalan-persoalan pendidikan yang dijelaskan di atas, bangsa Indonesia harus meluruskan arah pendidikan. Bangsa Indonesia perlu menerapkan model pendidikan liberatif-transformatif yang digagas oleh Freire sebagai bentuk pendidikan yang ideal dan humanis.


(a) Pendidikan Liberatif-Transformatif


Konsep pendidikan pembebasan ini sebagai bentuk perlawanan Freire terhadap pendidikan model lama dengan sistem bank. Pendidikan model lama menempatkan guru sebagai subyek yang memiliki pengetahuan yang disikan kepada siswa. Siswa adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Siswa berperan sebagai obyek dalam proses pembelajaran. Dalam sistem pendidikan seperti ini tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan siswa. Praktik pendidikan seperti ini mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakan.


Freire melakukan perombakan dengan menegaskan bahwa pendidikan harus mampu membebaskan manusia. Sebagai alternatifnya, Freire menciptakan sistem pendidikan baru yakni “Problem Posing Education” (pendidikan hadap masalah) yang memungkinkan konsientisasi (Freire & Shor, 1987; Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000; John Dale, 2010). Dalam konsep pendidikan ini, guru berperan sebagai teman murid yang merangsang untuk berpikir kritis.


Freire menegaskan bahwa pendidikan sebagai upaya membentuk konsientisasi (kesadaran) kristis sebagai penggerak emansipasi kultural. Dalam konsientisasi, guru dan siswa sama-sama menjadi subyek dan disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi guru dan siswa berpikir bersama. Pengetahuan yang sejati menuntut penemuan dan penemuan kembali melalui penyelidikan terus-menerus atas dunia, dengan dunia, dan dengan sesama. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan  integritas,  intelektualitas,  kapabalitas,  dan  menjaga  harga  diri  agar  kebutuhan  siswa  untuk  belajar  dengan  berbagai  ilmu pengetahuan dan keteladanan akhlak yang baik dapat terpenuhi dengan baik dan proposional. Guru dan siswa secara serempak menjadi guru dan siswa.


Dalam  menjelaskan  hubungan  guru  dan  siswa,  Freire  berpendapat pentingnya dialog  dalam pendidikan.  Dalam dialog  itu, guru dan siswa saling menghargai,  saling  belajar,  saling menghindarkan  dari  tekanan penguasa (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000).  Dialog  secara  kritis  perlu  diadakan,  sehingga  masing-masing  dihargai  sebagai manusia.  Dialog  mengembangkan  kedua  belah  pihak,  baik  guru  maupun  murid. Dalam dialog itu masing-masing bukan hanya mempertahankan identitas masing-masing, tetapi  juga  berkembang  bersama.  Dalam dialog  juga hak  asasi manusia  dihargai dan tidak dimatikan demi kemenangan satu pihak.


Pendidikan yang membebaskan bertujuan agar manusia menjadi tuan dalam pemikirannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan berdiskusi tentang pikiran dan pandangannya tentang dunia bersama dengan yang lain. Karena manusia tidak bisa mengubah dunia sendiri, dia harus melibatkan orang-orang disekitarnya untuk merubah dunia.  Hal yang sama juga terjadi antara guru dan siswa bahwa dialog justru membuka cakrawala berpikir yang lebih inklusif (terbuka). Dengan demikian terjadi proses saling belajar. Siswa belajar dari guru, dan sebaliknya guru dapat belajar dari siswanya. Guru menjadi rekan atau teman dari siswa yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para siswa. Dengan demikian, guru dan siswa secara bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis diri dan dunianya. Serentak dengan itu, kedua memahami bahwa dunia bukanlah realitas yang statis, tetapi suatu proses menjadi atau belum selesai. Cara pandang seperti ini membantu manusia untuk selalu berusaha mencari dan terus mencari. Hal ini sesuai dengan karakteristik manusia yang memiliki kerinduan dasariah untuk mengetahui segala (desiderium sciendi) sesuatu.


Kerinduan dasariah ini bisa tumbuh jika manusia memiliki kesadaran kritis. Paulo Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000), yaitu : (1)  Kesadaran intransitif. Kesadaran ini terjadi dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas; (2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis.


Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan; (3) Kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog; (4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran ini ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini, orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat (kausalitas).


Bagi Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Freire tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran peserta didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian, kontradiksi guru-siswa (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan siswa adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator, motivator, diseminator yang memperlancar komunikasi dialogis edukatif. Guru adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa adalah partisipan aktif dalam dialog edukatif tersebut.


Dalam pandangan Freire, pendidikan sebagai usaha untuk membebaskan manusia dimaknai sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan. Dengan kata lain, pendidikan berarti usaha untuk “memanusiakan manusia” (proses humanisasi). Dengan menggunakan pendekatan humanis, Freire membangun konsep pendidikan dengan bertitik tolak mulai dari konsep manusia sebagai subyek yang aktif. Manusia adalah makhluk praksis, yang dapat beraksi dan berefleksi dengan menggunakan pikirannya (Cogitu Ergo Sum, saya berpikir, maka saya ada).


Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan sering diidentikan dengan pembebasan, yakni pembebasan dari hal-hal yang tidak manusiawi. Jadi, untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur dehumanisasi. Dehumanisasi tersebut bukan hanya menandai seseorang yang kemanusiannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokkan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh (holistik-integratif).


Konsep pendidikan Paulo Freire berpijak pada penghargaan terhadap manusia. Freire menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai subyek dalam proses pendidikan. Keduanya memiliki kedudukan yang sejajar. Pendidikan adalah sebuah kegiatan belajar bersama antara pendidik dan peserta didik dengan perantara dunia, oleh objek-objek yang dapat dikenal. Pendidikan tidak lagi sekedar pengajaran, namun dialog antara para peserta didik dan pendidik yang juga belajar. Keduanya bertanggung jawab bersama atas proses pencapaian. Hal ini merupakan sebuah penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia. Pendidikan bukan lagi proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sebab keduanya sama-sama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia. Dalam kedudukannya sebagai subjek, manusia senantiasa menghadapi berbagai ancaman dan tekanan, namun manusia tetap mampu terus menapaki dan menciptakan sejarah berkat refleksi kritisnya (Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, 2000).


Paulo Freire mendasarkan hakikat pendidikan atas pandangannya terhadap manusia dan dunia. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, serta memiliki kesadaran dan berpotensi sebagai man of action untuk mengubah dunianya. Pendidikan adalah instrumen untuk membebaskan manusia supaya mampu mewujudkan potensinya. Oleh karena itu, pendidikan memainkan peranan strategis untuk membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat dan berkualitas.


Disinilah, sebenarnya terjadi proses transformasi dalam hidup manusia. Manusia mengalami perubahan hidup ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Atau dalam kontek proses pendidikan, transforamsi berarti peserta didik mengalami perubahan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor).  Pendidikan yang membebaskan membantu setiap orang untuk mengalami suasana pendidikan yang kondusif dan humanis. Model pendidikan seperti ini membuka ruang kebebesan pada peserta didik untuk berpikir sendiri, berinovasi dan berkreasi. Hal ini menjadi mungkin karena dalam diri peserta didik sebagai persona memiliki kesadaran diri untuk berkembang ke arah yang baik, memiliki otonomi diri karena mampu menentukan diri sendiri, memiliki transendensi diri karena ada kemampuan untuk mengubah tantangan atau kesulitan menjadi peluang atau memiliki kemampuan untuk keluar dari hal-hal yang membelenggu dirinya, serta komunikatif karena mampu berkomunikasi dengan lain.


(b) Pendidikan Liberatif-Transformatif di Indonesia


Konsep pendidikan liberatif-transformatif yang diperjuangkan Freire menjadi dasar untuk menilai model pendidikan yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi,  harus diakui bahwa konsep pendidikan yang dikembangkan Freire dalam konteks Amerika Latin tidak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasi dan permasalahannya tidak sama. Betapapun demikian, kritik Freire tentang model pendidikan gaya bank dapat dibaca dan dianalisis untuk konteks pendidikan di Indonesia. Pendidikan gaya bank yang yang berkarakteristik monologal juga sering terjadi dalam proses pendidikan di Indonesia. Proses pendidikan seperti ini tidak membuka ruang dan kesempatan bagi peserta didik untuk berinovasi dan berkreasi dalam proses pendidikan.


Dalam perjalanan pendidikan di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia telah berulang kali mendesain dan menerapkan kurikulum pendidikan nasional. Perubahan kurikulum pendidikan sebenarnya bertujuan untuk menjadikan kurikulum pendidikan tersebut relevan dengan tuntutan IPTEKS dan kebutuhan satuan pendidikan serta masyarakat. Selain itu, kurikulum yang diterapkan dalam setiap satuan pendidikan bertujuan supaya mengaktifkan peserta didik (student centered oriented).


Para guru atau lembaga pendidikan menerapkan dalam melaksanakan kurikulum yang relevan dan kontekstual. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pola komunikasi dalam  pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered oriented), sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank”, tempat penyimpanan sejumlah pengetahuan yang disampaikan guru. Guru berperan sebagai subyek dan siswa sebagai obyek. Siswa adalah pribadi yang belum tahu dan harus diberitahu guru,  sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan sejumlah pengetahuan. Oleh karena itu, jika model pendidikan liberatif-transformatif diterapkan di Indonesia, maka hal-hal berikut ini perlu diperhatikan untuk membantu proses pendidikan mencapai tujuan yang diinginkan.


 a. Kualitas Pendidik


Pendidik yang berkualitas harus memiliki sejumlah kompetensi seperti kompetensi pedagogis, profesional, sosial, personal. Seorang pendidik perlu mengembangkan diri supaya memiliki sejumlah kompetensi ini supaya dapat merencanakan, menjalankan proses pendidikan serta mengevaluasi pelaksanaan pendidikan dengan baik Dalam proses pembelajaran, guru bukan lagi sebagai narasumber utama dalam proses pendidikan, tetapi berperan sebagai fasilitator, motivator, diseminator. Guru harus mampu mengedukasi dan mengaktifkan peserta didik aktif dalam  belajar supaya mencari tahu serta menemukan sesuatu dalam proses pembelajaran. Guru hadir sebagai teman bagi siswa supaya siswa mampu berpikir sendiri, berinovasi dan berkreasi.


b.Sistem Pendidikan Harus Membebaskan


Sistem pendidikan harus didesain untuk memberi ruang dan kesempatan bagi peserta didik untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran. Orientasi pendidikan harus berpusat peserta didik. Dengan itu, peserta didik menjadi subyek yang menentukan diri sendiri dalam belajar dan proses pembelajaran.


Sistem pendidikan di Indonesia terkadang masih bersifat feodalistik, sehingga kurang menghargai kebebasan berpikir. Atas dasar itulah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim memberi solusi tentang pentingnya menyederhanakan kurikulum, serta mengurangi aturan-aturan dan belenggu untuk menciptakan kebebasan pendidikan. Salah satu hal yang perlu dibenah dalam sistem pendidikan bangsa Indonesia supaya pendidikan menjadi lebih berkualitas dan bermutu adalah menciptakan pendidikan berbasis kompetensi dan karakter. Sistem pendidikan bangsa Indonesia perlu segera dibenah untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas dan berbudi pekerti baik.


c. Pembenahan Lembaga Pendidikan


Lembaga pendidikan hadir untuk membentuk generasi masa depan yang berkualitas dan berkarakter. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan harus dapat mengelola pendidikan secara benar dan memberi ruang kebebasan berekspresi kepada para peserta didik. Lembaga pendidikan harus hadir sebagai suatu institusi yang dapat membentuk para peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan berpikir, berekspresi dan berkreasi. Jika demikian yang terjadi, peserta didik akan mengalami suatu kemerdekaan dalam belajar, sehingga tidak merasa sedang berada dalam suatu tekanan atau penindasan yang bersifat terselubung atau terbuka.


Lembaga pendidikan harus menjadi tempat bagi peserta untuk memperoleh pengetahuan secara akademis, tetapi juga menjadi ruang yang bebas bagi peserta didik untuk membentuk diri supaya mampu menjadi diri sendiri. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya kuat secara akademik intelektual, tetapi juga mempunyai karakter diri yang baik dan benar.


 

III. PENUTUP


Pendidikan yang ideal dan humanis harus mampu membebaskan manusia sebagai subyek pendidikan dari pelbagai macam belenggu yang menindas. Gagasan Paulu Freire tentang pendidikan yang liberatif dan berdaya transformatif sangat relevan ditempatkan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Merdeka belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud RI seharusnya ditempatkan konteks pendidikan yang liberatif ini. Sebab, pendidikan merdeka atau merdeka belajar akan memberi ruang bagi kreativitas seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berpikir mandiri, berinovasi dan berkreasi. Oleh karena itu, pendidikan yang bersifat indoktrinasi atau otoritarian yang cenderung membelenggu kebebasan berpikir dan berkreasi menjadi tidak relevan dalam konteks pendidikan saat ini.


Daftar Rujukan


APPLE, M. W., GANDIN, L. A., & HYPOLITO, Á. M. (1993). Paulo Freire 1921–97. UNESCO:International Bureau of Education, XXIII(3), 128–133. https://doi.org/10.4324/9780203464694-25.


Beckett, K. S. (2013). Paulo freire and the concept of education. Educational Philosophy and Theory, 45(1), 49–62. https://doi.org/10.1080/00131857.2012.715385.


Daniel Schugurensky, R. B. (2014). Paulo Freire. In United State of Amerika : Bloomsbury Library of Educational Thought. Bloomsbury Academic.


Freire, P. (2008). (Cetakan Ketujuh) Paulo Freire – Pendidikan Kaum Tertindas-LP3ES (2011).pdf. In Jakarta : Pustaka LP3ES.


Freire, P., & Shor, I. (1987). A Pedagogy for Liberation. In MACMILLAN EDUCATION. https://doi.org/10.1007/978-1-349-18574-0


Freire Paulo, Myra Bergman Ramos, D. M. (2000). Pedagogy of The Oppressed. In United State of Amerika : Bloomsbury Academic. Bloomsbury Academic.


Gadotti, M. (1994). Reading Paulo Fraire, His Life and Work. In State University of New York Press, Albany. State University of New York Press, Albany.


Hafid Abbas. (2019). Meluruskan Arah Pendidikan. In Jakarta : Pustaka LP3ES.


John Dale, E. J. H. M. (2010). Paulo Freire: Teaching for Freedom and Transformation: The Philosophical Influences on the Work of Paulo Freire. In New York : Springer Science. New York : Springer Science.


Kemendikbud RI. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. In Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan Republik Indonesia.


Shih, Y.-H. (2018). Some Critical Thinking on Paulo Freire’s Critical Pedagogy and Its Educational Implications. International Education Studies, 11(9), 64. https://doi.org/10.5539/ies.v11n9p64


Miles B. Matthew and Huberman A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif, Tjetjep Rohendi Rohidi (penterj.). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)


Keterangan:*) Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Letangmedia.di, pada 22 November 2022, dengan judul “Gagasan Paulo Freire Tentang  Pendidikan  yang Liberatif-Transformatif  sebagai  Suatu Model Pendidikan yang Ideal dan Humanis dan Implementasinya dalam Konteks Pendidikan di Indonesia*


Iklan

×
Berita Terbaru Update