Kubangan itu, membuatnya berhenti sejenak, sambil menggoyangkan kelopak matanya, ke kiri dan kanan, berharap ada orang seisi rumah yang mengusir binatang-binatang itu untuk tidak memangsa tanaman di sekiling rumah.
“Ah, sepertinya, ini
biasa di sini”. Guman pria itu dalam hatinya. Ia kembali berjalan mengendarai
motornya, dengan pelan dan penuh kehati-hatian, agar terhindar dari
binatang-binatang yang sedang memangsa rumput liar di sepanjang jalan itu.
“Sepertinya orang-orang
di sini, sengaja meliarkan binatang peliharaan mereka, pekarangan rumah mereka,
bagai kebun binatang, jalan umum sebagai kadang terbuka untuk binatang-binatang
ini. Upsss. dengan cekat dan cepat pria itu menginjak ream motornya” saat segerombolan
sapi dan kambing melintasi punggung jalan itu.
Kittttttt…kira-kira begitulah bunya klakson
motornya, berusaha dibunyikan sekeras mungkin, agar hewan-hewan itu
menepi. Sepertinya, binatang-binatang itu masa bodoh, dan sudah
terbiasa dengan bunyian itu, hewan-hewan itu tetap berjalan melintasi jalan
tanpa menggubris bunyi klakson motor dari pria yang sudah mulai kesal itu.
Pria, yang sudah agak
kecewa dengan ulah binatang itu, turun dari motornya, sambil mengeluarkan kaca
mata gelapnya, lalu mengandalkan suaranya utuk mengusir segerombolan binatang
itu. Dengan pelan, hewan-hewan itu meninggalkan punggung jalan.
Kurang lebih, Satu Kilometer dari kampung yang mengalahkan suara manusia oleh suara hewan-hewan
peliharaan, ia sudah memasuki kampung tujuannya, yakni kampung sahabatanya
semasa kuliah.
Bola matanya kembali
bergerak ke kiri dan kanan, seakaan enggan berkedip, saat melihat pekarangan
rumah penduduk di kampung itu yang dihiasai oleh tanaman sayur-sayuran.
Hidungya berkembang, membiarkan udara segar merasuki jiwanya.
“Waoh..hebat betul
orang di sini, mereka sungguh memanfaatkan pekarangan mereka dengan menanam
sayur-sayuran, pagar yang indah berbahan dasar bamboo dan kayu, mereka sungguh
mencintai kebersihan dan kesehatan”. Sahut pria itu dalam hatinya, sambil
mengendarai dengan pelan sepeda motornya, ia terus berpikir, berarti mereka di
sini tidak ada hewan peliharaan seperti kampung di sebelah.
Dalam kekagumannya yang
tak terhingga, ia sudah berada di depan rumah sahabatnya. Dengan pelan ia
membuka helmnya, mematikan mesin motor, lalu masuk dengan gembira ke rumah sahabatnya
yang sudah menunggu sejak pagi.
“Helo sobatku, selamat
datang di kampungku, kampung Damai”
Sambut, Tus, sahabatnya.
Wajah gembira terlihat dari senyuman Tam, melihat sikap
sahabatnya yang selalu ramah. Kelurga Tus, turut gembira menyambut kedatangan
Tam, yang sudah diceritakan oleh Tus kepada keluarga sebelumnya.
“Star jam berapa dari
rumah tadi, Tam…?” tanya Tus, yang menunggu dalam cemas atas keselamatan Tam
dalam perjalanan menuju kampungnya.
“Jam 08.00 Tus”. Sambar
Tam.
“Loh, pelan amat
jalannya, biasanya hanya 4 jam saja sudah sampai, sekarang sudah pukul 14.30”
Singgah di mana tadi Tam? Tanya Tus dalam nada guyon.
“Macet Tus”.Sambung
Tam, sambil memegang segelas air putih.
“Wekwkwk. Tam. Tam,
macet”. Sambung Tus dalam nada datar dan bercampur lucu.
“Yah macet”. Sahut Tam,
dalam nada yang bergelombang.
“Ah, Tam. Sikapmu, tak
pernah berubah. Sejak kuliah sampai
sekarang selalu menjawab pertanyaan yang
membuat orang pusing untuk berpikir”.
“Macet itu, hanya ada
di kota-kota besar Tam…. Sebagaimana yang kita alami sejak kuliah dulu. Hal
itu, belum terjadi di sini, lagian, jalur ini tidak sering dilalui oleh
kendaraan”.
“Memang benar apa yang
kamu katakan Tus”. Sahut Tam, berusaha utuk menghentikan omelan Tus.
“Saya terlambat, bukan
macet karena banyaknya mobil, Tus”. Sahutnya, sambil menikmati mentimun hasil tanaman pekarangan orangtua
sahabatnya.
“Terus. Macet Kar..(Tam
langsung menyambarnya) karena bina…tang Tus”.
“Hahahaha”.Tus tertawa
mendengar alasan sahabatnya, yang diucapkan dengan sedikit lantang bercampur
kecewa.
“Saya tau Tus, pasti
kamu ketawa, sejak kuliah, kau senang melihat saya sebel, kecewa dan emosi”.
Sambung Tam, sambil menghabisi mentimun yang ada dihadapan mereka. “Tapi,
justru hal itu, yang membuat saya merasa sedih bila mengingat kembali
“kegilaan” kita dulu. Lanjut Tam.
“Tus, saya yakin kau
sudah tahu dan percaya, bahwa di kampung yang saya lewat tadi, banyak binatang
kan?
“Ya, ia’lah, saya
sering lewat di situ. “Saya menamakan kampung itu, kampung mati”.
Kok, kampung mati, Tus? Tanya Tam, yang
sedikit bingun dengan kalimat kalimat itu.
“Ya, benar Tam. Kampung
Mati”. Lanjut Tus.
Tapi, masih ada
penduduknya Tus. Sambung Tam, yang kurang paham dengan kalimat sahabatnya yang
suka memberikan nama baru kepada apa yang membuatnya sakit hati dan aneh.
Memang penduduknya
masih ada, Tam. Tapi yang saya maksudkan Kampung Mati adalah karena mereka
membiarkan halaman jalan dan pekarangan rumah mereka sebagai kandang terbuka
untuk hewan-hewan peliharaan.
“Mereka tidak pernah
berpikir untuk memanfaatkan pekarangan dengan menanam sayur-sayuran, atau
membuat kandang untuk ternak mereka, sehingga dengan demikan tanam meraka aman,
dan kotoran hewan –hewan itu dapat dijadikan pupuk”. Selama ini saya masih cari
waktu yang tepat Tam, untuk membagikan pengalaman ini kepada mereka. Sambil
menatap Tam yang masih kagum dengan aktivitas masyarakat setempat, yang sibuk
menyiram tananam sayur-sayuran di sekeliing rumah mereka, anak-anak, laki-laki
dan perempuan tidak terkecuali.
“Tus, kalau boleh tahu,
aktivitas menyiram tanam sayur-sayuran di sini, kayaknya aktivitas rutin setiap
sore, ya”. Tanya Tam, sambil melihat aktivitas masyarkat itu dari teras rumah.
“Ya, Tam”. Sahut Tus,
dalam nada sedikit cemas, sambil mengarahkan tatapannya kepada sosok seseorang
yang sedang menuju rumahnya.
“Berarti, di sini tidak
ada hewan peliharaan ya, Tus, sama seperti di kampung sebelah yang kau namakan
kampung mati itu”. Tus, berusaha untuk tidak meresponnya, agar sahabatnya yang
selalu keras kepala itu, tidak melanjutkan diskusi ini.
Tus, semakin cemas,
takut, dan gelisah, ketika sosok yang dilihatnya, mematikan mesin mesin
motornya tepat di depan rumahnya, dan memilih untuk singgah di rumah Tus.
Tus, berusaha dangan
banyak cara, untuk mengelabui Tam, supaya tidak membahas kampung mati itu lagi.
“Nana, selamat sore,
bapa dan mamamu ada dirumah? Tanya pria yang sedikit lebih tua dari mereka
dalam nada ramah.
“Am, am. Me.me.mereka
lagi pergi siram sayur Om”. Jawaba Tus dengan sedikit takut, dan berharap agar
pria itu lebih cepat meninggalkan mereka, sebelum ada pertanyaan tentang
kampung mati dari sahabatnya.
“Oh. Begitu yah”. Kalau
begitu boleh saya tunggu di sini? Tanya pria, yang berasal dari kampung mati
yang disebutkan Tus. “Oh, yah pak, tidak apa-apa”. Jawab Tus sambil
mengaharapkan agar orang tuanya cepat kembali ke rumah.
“Selamat sore Om. Sapa
Tam, yang baru pulang beli rokok dari kios yang selang serumah dengan rumah
Tus”. Mampus gue, gawat-gawat. Guman Tus
dalam hatinya.
“Saya Tam, Om, temannya
Tus”. Kata pria yang masih simpan sejuta penasarannya, sambil berjabatan
Tangan.
“Oh, teman kuliahnya Tus,
dulu ya”. Sambung pria yang berusia 35 tahun itu dalam nada datar sambil
menganggukan kepala.
“Yah, om, kebetulan
lagi libur. Sehingga sempatkan waktu untuk pesiar”. Sahut Tam, sambil membuka
bungkus rokoknya dan melektakkanya di atas meja. “Trimakasih Tam, semoga engkau
terus melupakan pertanyaanmu tadi”. Harapan Tus dalam hatinya.
Harus, begitu, pesiar,
saling kujung teman. Saya juga, manfaatkan kesempatan libur untuk kunjung
kelaurga, sekaligus mempererat tali kekaluargaan dan persahabatan. Lajut pria
yang ahli dibidang pertanian tersebut.
“Hehheh. Itu sudah om”.
Singkat Tam.
Tus. Bapa dan mama
belum pulang yah? Tus. Tus. Apa yang sedang kau pikirkan? “Kelihatannya
benggong”. Hhhhhh. Guman Tus. Oh, tidak”. “Saya tidak pikir apa-apa”. Jawab
pria itu, singkat. Bapa dan mama, sudah pulang apa belum? Tanya Tam, sedikit keras. Dari tadi saya tanya, belum
juga dijawab. “Hhhh, belum bro”. Jawab Tus, sambil memberikan senyum ramah
kepada kedua tamunya.
Tus, jangan terlalu
serius memikirkan pertanyaan saya tadi? Gangu pria yang masih penarasan dengan
kampung mati dan kebiasan kampung sahabatnya, Tus.
Waoh, rupanya sedang
mendiskusikan hal yang serius tadi ya? Sambung pria yang sedang menunggu orang
tuanya Tus itu. “Ah. Tidak Om, maklum anak muda”. Sela, Tus untuk mengalihkan
pembicaaraan.
Saya suka itu, Tus.
Sambung Edi, sang ahli tanaman pertanian
organik. Waduh..mampus gue, guman Tus dalam hatinya, yang tidak tampak di
wajahnya.
Memangnya, ada
pertanyaan apa tadi Tus? Tanya Edi. “Gawat-gawat, gawat”. Guman Tus dalam hati,
sambil memberikan tanda-tanda kepada Tus, berharap alihkah pertanyaan. Mata
berkedip, pura-pura batuk, kaki bergerak, berharap Tus melihat gerak tubuhnya
yang sedang memberikan aba-aba (bady lingusitik). Tus pura-pura tidak melihatnya. “wkkwk, takut
yang bro, sampai kapan bro, mumpung di depan kita praktisi pertanian organik,
mungkin harapan dan kesempatan yang kau rindukan untuk menghidupkan kampung
mati itu, akan terwujud sekaran”. Kata Tus dalam hatinya.
“Begini pak, dari tadi
kami sedang membicarakan kebiasaan masyarakat di sini, yang memanfaatkan lahan
pekarangan untuk menanam sayur, dan menggunakan kotoran hewan yang mereka
kandang sebagai pupuknya. Menariknya lagi, seolah-olah kegiatan menyiram sayur
di sini, kayak sedang berwisata. Karena mereka melakukannya dengan senang hati,
baik laki-laki maupun perempuan. Yah, setidaknya mengurangi sedikit pengeluaran
untuk beli sayur, bahkan, menurut cerita Tus tadi, ada juga masyarakat dari
kampung tetanga untuk membeli sayur di sini. Yang oleh Tus, disebut Kampung
Mati. Kata Tam, kepada Edi, sambil mengaharapakan pertanyaan dan penjelasannya.
Mapus gue, guman Tus, sambil memberikan aba-aba melalui bahasa tubuh, untuk
memberitahukan kepada Tus, bahwa pria yang sedang diajak bicara tersebut, dari
kampung Mati itu.
Ia, ini menjadi
rutinnitas di sini, selama enam bulan terakhir ini, setelah sebelumnya mereka
memjadikan pekarang mereka sebagai kandang terbuka bagi ternak mereka. Sambung
pria itu, untuk menyakinkankan Tus.
Nah, ini dia yang
kumaksudkan. Kata Tus dalam hatinya.
Tapi kampung mati yang dimaksudakn tadi, apa ya? Tanya pria itu, sedekit
kaget mendeangar kalimat itu.
“Wewewek, begini pak,
tadi, saat saya mau datang ke sini. Saya lewat, disalah satu kampung. Saya
sangat menyesal, bahkan sedikit marah, melihat hewan-hewan piraa warga
berkeliaran, seolah-olah badang jalan, dan halamna pekerangan rumah menjadi kandang terbuka, bahkan akan menjadi
kubangan saat musim hujan nanti. Padahal
kalau dipikir-dikir, masyarkat dapat mewanfaatkan pekarangagan untuk menanam
sayar, dan membuat kadang untuk hemwan paiaran tersebut. Selain mmeberikak
kenayaman bagi pengguna jalan, juga kotoran dari hwan tersebu dapat digukana manjadi pupuk, sebagaimana
yang dilakukan di kampung ini”. Kata
Tam, kepada pria tersebut, sambil melirik kea rah Tus, yang selalu setia dengan
keresahaanya.
“Dinamakan kampung
mati, itu istilah dari Tus”. Sambil melihat sahabatnya yang semakin cemas. Saat
saya menceritakan apa yang saya lihat, dan yang saya alami di kampunng itu,
bahkan saya sampai-sampai terjatuh, karena segerombolan kambing dan sapi yang
berkeliaran di punggung jalan itu. “Kampung
Mati, kata sahabatku ini”. Sambil menepuk bahu Tus yang sedang memunculkan
keringat dingin dari dahinya.
“Wwewewew”. Tawa
singkat dari pria yang sedang duduk berhadapan dengan mereka, sambil mangambil gelas kopi yang telah
disuguhkan oleh Tus sebelumnya.
Tus, habis akal,
kecamasannya semakin berkecamuk, gelombanng darahnya semakin kenjang, bola
matanya tidak tenang, posisi duduknya juga tidak tenang, saat melihat ekspresai
pria yang sedang berhadpan dengan meraka.
“Kenapa Tus?” Tanya
Tam, sambil memerhatikan ekspresinya. Tus seakam dibungkam oleh perasaannya
sendri.
Darahnya mengalir
semakin kenjang, rasa takutnya semakin liar, bola matanya bergerak lebih cepat,
jantungya berdetak lebih cepat dari biasannya, saya pria di hadapannya,
menyentuh dan mengambil gelas kopi yang telah ia suguhkan.
Situasi itu rubah
begitu cepat, saat Edi, mengambil gelas kopi yang ada didepannya, lalu
diminumkan. Aduhhhh..trimkasih Tuhan.
Kata Tus dalam hatinya.
Memang benar apa yang
kamu katakana Tam, kata pria itu sambil meletakkan kembali, gelas kopi itu di
meja.
Itulah yang sedang
ingin kami gerakkan dalam beberapa hari ini kedepan, dan sebelum datang ke sini
tadi, kami sudah membahas hal tersebut bersama masyarakat. Supaya kedepannya, tidak disebutkan kampung
mati lagi. Seperti yang dikatakan Tus. Kata pria itu dalam nada serius, diakhiri
dengan sedikit tawa.
“Oh, syukur kalau
begitu pak, itu yang sedang direncanakan oleh sahabat saya ini, dalam diskusi
kami sebelumnya tadi”. Kata Tam, sambil menepuk bahu Tus.
“Jadi, sebelum datag ke
sini tadi, bapak singgah di sana?” Tanya Tam. “Kwkwwkwk, itu kampung saya,
Tam”. Jawab pria itu, sambil mengambil menghabiskan kopinya.
“Busssssettttt, mati
gue”. Sahut Tam dalam hatinya. Raut wajahnya Tam, mendadak pucat, saat
mendengar kalimat dari pria itu (itu kampug saya), mati gue. Pantassan dari
tadi, lelaki disamping saya ini, selalu memberikan isyarat. Guman Tus dalam
hatinya dengan sedkit kurang percaya dengan situasi itu.
Dengan sedikit tergesa,
bercampur malu, dan penyelasan, Tam kembali memulihkan pandanganya dan berkata
“Maaf sebelumnya tadi pak, mungkin kata-kata saya menyinggung prasaan bapak,
sekali-lagi saya minta maaf pak”
“Tam, Tam, tidak
apa-apa, itu hal biasa kok, kanyataannya juga memanng seperti itu. Jadi tidak
usah merasa bersalah. Justru saya, senang gagasan –gagasan seperti itu”. Kata pria itu dalam nada pujian.
“Saya juga berharap,
kalau Tam masih lama di sini, sesekali pergi bersama Tus, di kampung saya.
Kebetulan pekan ini, kami akan mulai melakukan gerakan tahap satu, yaitu,
gerakkan sehari membuat kandang”. Ajakan pria itu, dalam nada harap.
“Waoh, ide kren tuh,
pak. Kami siap hadir nanti pak; atau
gimana Tus?”. kata pria yang sudah sedikit legah setelah minta maaf atas
kecerohananya.
Tus, saya pamit dulu,
titip salam saja buat bibi nanti, takut kemalaman. Oh ya Om, hati-hati di
jalan.
“Tam.Tam. Jantungku terasa
dicopot. Saat, kau berapi-api bicara tentang kampung mati. Apalagi kalau ada
Mama tadi”.
Maksunya? Tanya Tam. Mamaku dari sana, dari kampung
mati itu. “Waduh, mati gue, kamu sih, tidak pernah kasih tahu ke aku”. Kata
pria itu.
“Yah, sudalah, sekarang
kita akan lihat perubahan dalam beberapa Minggu kedepan. Karena saya yakin,
mereka akan memulai membuat hal baru nanti, yakni membuat kandang untuk ternak
mereka, dan menanam sayur di pekarangan rumah mereka. Dan Tam tidak akan pernah
macet oleh segerombolan kambing dan sapi, sambung Tam. Sambil ketawa.
***
Semangat dan komitmen
bersama, tidak pernah mengkianiati hasil. Itulah kalimat yang tepat untuk
menggambarkan perubahan kampung yang dulunya disebut kampung mati oleh Tus.
Semangat dan komitmen
bersama, tidak pernah mengkianiati hasil. Itulah kalimat yang tepat untuk
menggambarkan perubahan kampungyang dulunya disebut kampung mati oleh Tus
Sayur-sayur organik
yang ditanaman di pekarangan rumah dan yang dekat dengan rumah masyarakat,
tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan sayur rumah tangga, tetapi juga sebagai
salah satu sumber penghasilan mereka.
Hewan piaraan, yang dulu berkeliaran, dan berkubangan di halaman jalan
dan pekarangan rumah, kini dikandangkan, dan kotoran-kotoran hewan tersebut
dijadikan pupuk.
Melihat itu, Tus
menggingatkan sosok sahabatnya yang ceplos menyebutkan kampung mati. Dalam
hatinya berkata, “selamat tinggal kampung mati, selamat datang alam sayur
organik”. Perubahan itu pun diberitahukan kepada sahabatnya Tam. Tam, kalau
kamu datang lagi di kampug saya, pasti sampainya lebih cepat. Karena tidak ada
lagi macet yang disebabkan oleh segerombolan sapi dan kambing. Gerombolan sapi dan kambing itu, berubah
menjadi taman sayur dan mentimun kesukaanmu”.
“Pak Edi dan masyarakat setempat sungguh
menikamati hasilnya, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi
kenyamanan”. Cerita Tus, kepada bapa dan mamanya, setelah pulang dari kampung
itu. Waoh..luar biasa Sobat. Aku senang
mendengarnya, setidakya sedikit hemat energy berhadapan dengan gerombolan sapi
dan kambing yang tidak peduli dengan bunyi klakson motorku. Selamat tinggal kampung Mati menurut
sahabatku, selamat datang kampung kaya sayur dan mentimun kesukaan itu. Kata
Tam, memalalui telpon genggamnya kepada sahabatnya Tus.
***
Catatan :
*Nana: Panggilan orang
Manggarai untuk lelaki yang paruh baya. Biasanya panggilan kesayangan oleh
orang tua, untuk anak laki-laki atau oleh orang yang lebih tua.
** Cerita ini, hanya
fiktif. Mohon maaf bila ada kesamaan nama pada cerpen ini, kesemaan kisah, dan
kesamaan realitas. Itu hanya kebetulan. (Tulisan 2017)