Feliks Hatam ID-Judul tulisan ini, diinspirasi dari tulisan Antonius Nesi, mahasiswa pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dipublikasikan oleh pos kupang (pk.5/10/2017) di bawah judul “Lestarikan Bahasa Daerah Melalui Tindakan Ekologis”.
Dari gagasan Nesi tersebut, secara tersirat ada kerterkaitan antara budaya, ekologi dan bahasa. Daya cipta dan relasi manusia dengan alam melahirkan ragam kosa kata, ragam kata menggambarkan fauna dan flora yang ada di lingkungan kebahasaan, yakni lingkungan kultural (culture evirioment), dan berbicara ekolinguistik adalah membicarakan ekologi yang memberikan pengaruh terhadap munculnya ragam bahasa seturut topografi.
Konsekunsinya, “kepunahan flora dan
fauna ikut berdampak pada kepunahan kosakata suatu bahasa” (Nesi pk.5/10/2017);
Kesadaran melestarikan ekosistem adalah tindakan melestarikan bahasa daerah
(ibu) sebagai unsur budaya yang memperkaya wilayah kebahasaan.
Kekhasan budaya setiap wilayah sebagai hasil cipta dan kreatif manusia adalah kekayaan yang dimiliki negara ini. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya mempunyai pranan penting dalam membangun relasi dengan sesama. Kenyataan ini menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara manusia sebagai pencipta budaya, dan lingkungan sebagai locus kebahasaan, dan bahasa sebagai ungkapan keadaan wilayah.
Kenyataan ini menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara manusia sebagai pencipta budaya, dan lingkungan sebagai locus kebahasaan, dan bahasa sebagai ungkapan keadaan wilayah.
Ekolinguistik adalah Sistem
Keberadaan manusia (being of mode) dalam relasinya dengan alam sangat menentukan keutuhan lingkungan dan menentukan bertahannya salah satu kosa kata, unkapan atau pribahasa daerah. Inilah yang disebutkan ekolinguistik oleh Einer Haugen dalam bukunya The Ecology of Language (1972); ekologi bahasa yang dikaji Haugen (1972: 325). adalah “interaksi antara bahasa, penutur, dan lingkungannya hal mana lingkungan tidak dipahami sebagai lingkungan fisik (alam) melainkan lingkungan dalam arti metaforis, yakni lingkungan etnik yang menggunakan bahasa sebagai kode komunikasi” (dalam Toni Nensi, Poskupang).
Intraksi penutur bahasa seturut sifat dan keadaan ekologisnya disebutkan sosiolinguistik. Sosiolinguistik sebagaimana disinggung Gumperz (1962 bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi (dalam, Wiya Suktiningsih, RJIB, 2016 ).
Gerakkan-gerakkan tersebut melalui budidaya fauna dan flora yang berada diujung kepunahan, membuat wadah untuk mempertahankan dan mengembangkan kreativitas lokal yang menggunakan bahan alami seperti anyaman tikar, anyaman keranjang, tenun kain daerah, dan lain sebagianya. Sebab ada beberapa kekewatiran diera modern, pertama, kecendrungan untuk melupakan produk lokal seperti tikar, kerangjang, nyiru yang dianyam dengan bahan alami yakni pandan dan bambo untuk sulam nyiru dan tikar, kedua sampai saat ini penulis belum mendeangarkan usaha membudidayakan tanaman-tanaman yang akan digunakan sebagai bahan mentah untuk memenun dan membudidayakan pohon enau sebagai sumber pembuatan gula lokal, ketiga, belum gemanya memperbanyak wadah kreativitas lokal yang menggunakan bahan alam, dan masih banyak gerakkan ekologi lainya (maaf jika salah).
Menafsir pandangan Hugen dan Gumpers, intraksi penutur bahasa dengan mempertahankan dan mengembangkan kreativitas dengan menggunakan bahan alami adalah sebuah aksi untuk melestarikan fauna dan flora. Dibudidayakannya bahan-bahan alam untuk krajinan lokal, maka dengan sendirinya kosa kata bahasa seturut penuturnya dilestarikan. Selanjutnya tindakan konkrit, dengan memperkenalkan bahasa daerah kepada anak-anak, membudidayakan dan melestarikan jenis fauna dan flora yang hampir punah, meningkatkan kreativitas yang berbasiskan bahan-bahan alam, dan membiasakan diri untuk merawat alam sebagaimana merawat diri. Sebab panggilan ekologis, menuntut kesadran dan kreativiatas manusia ditengah kris ekologis yang terus mengancam ekolinguistik. Sebagimana hipotesis Finke (2001) “Kreativitas hidup terancam oleh percobaan di alam dan kreativitas bahasa terancam oleh penutur yang menggunakannya” (Nesi, pos kupang). Karena itu, panggilam (usaha) pelestian fauna dan flora adalah usaha mempertahankan kosa kata, sajak atau pepatah daerah yang merupakan ciri khas budaya atau kekayaan daerah; atau melestarikan kenekaragaman fauna dan flora adalah usaha melestarikan bahasa ibu setempat.***
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada kolom ASPIRASI Harian
Umum Flores Pos, tanggal 14/11/2017