-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ekolinguistik: Menggugah Kesadaran Ekologis dan Panggilan Pelestarian || Feliks Hatam ID

| Rabu, Maret 16, 2022 WIB Last Updated 2022-12-10T12:14:09Z





Feliks Hatam ID-Judul
tulisan ini, diinspirasi dari tulisan Antonius Nesi, mahasiswa pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta  yang dipublikasikan oleh pos kupang (pk.5/10/2017) di bawah judul “Lestarikan Bahasa Daerah Melalui Tindakan Ekologis”. 

        Dari  gagasan Nesi tersebut, secara tersirat ada kerterkaitan antara budaya, ekologi dan bahasa.  Daya cipta dan relasi manusia dengan alam melahirkan ragam kosa kata, ragam kata menggambarkan fauna dan flora yang ada di lingkungan kebahasaan, yakni lingkungan kultural (culture evirioment),  dan berbicara ekolinguistik adalah membicarakan ekologi yang memberikan pengaruh terhadap munculnya ragam bahasa seturut topografi.


        Konsekunsinya, “kepunahan flora dan fauna ikut berdampak pada kepunahan kosakata suatu bahasa” (Nesi pk.5/10/2017); Kesadaran melestarikan ekosistem adalah tindakan melestarikan bahasa daerah (ibu) sebagai unsur budaya yang memperkaya wilayah kebahasaan.

         Urgensitas uraian ini adalah untuk melihat, mengemukakan gagasan tentang keterkaitan budaya, ekologi dan bahasa lokal, yang pada akhirnya membawa semua pembaca budiman (termasuk saya) untuk melihat dan merefleksikan keberadaan kosa kata bahasa daerah pada wilayah kita masing-masing, yang mana fauna dan floranya terancam punah.

         Bahasa (sajak, puisi, majas) daerah adalah kekayaan yang diwariskan secara temurun. Setiap daerah mempunyai bahasa khasnya masing-masing, bahkan beberapa  wilayah dalam satu daerah  memiliki bahasanya sendiri seturut keadaan lingkungan sosial budayanya. Kerena itu Sunasman dan Gumiliar (2013:42) mengemukakan, bahasa sebagai perwujudan budaya itu sendiri. 

        Kekhasan budaya setiap wilayah sebagai hasil cipta dan kreatif manusia adalah kekayaan yang dimiliki negara ini. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya mempunyai pranan penting  dalam membangun relasi dengan sesama. Kenyataan ini menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara manusia sebagai pencipta budaya, dan lingkungan sebagai  locus kebahasaan, dan bahasa sebagai ungkapan keadaan wilayah.

         Kekhasan budaya setiap wilayah sebagai hasil cipta dan kreatif manusia adalah kekayaan yang dimiliki negara ini. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya mempunyai pranan penting  dalam membangun relasi dengan sesama. 

        Kenyataan ini menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara manusia  sebagai pencipta budaya, dan lingkungan sebagai  locus kebahasaan, dan bahasa sebagai ungkapan keadaan wilayah.


Ekolinguistik adalah Sistem

        Keberadaan manusia (being of mode) dalam relasinya dengan alam sangat menentukan keutuhan lingkungan dan menentukan bertahannya salah satu kosa kata, unkapan atau pribahasa daerah. Inilah yang disebutkan  ekolinguistik oleh Einer Haugen  dalam bukunya  The Ecology of Language (1972); ekologi bahasa yang dikaji Haugen (1972: 325). adalah  “interaksi antara bahasa, penutur, dan lingkungannya hal mana lingkungan tidak dipahami sebagai lingkungan fisik (alam) melainkan lingkungan dalam arti metaforis, yakni lingkungan etnik yang menggunakan bahasa sebagai kode komunikasi” (dalam Toni Nensi, Poskupang).

         Pandangan Haugen menegaskan keterkaitan antara lingkungan penutur bahasa dan latarbelakang sosialbudayanya, sebab bahasa akan dipahami melalui penuturnya, dan bahasa akan bertahan sesuai ligkungannya. Dengan demikian  perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut  (Wiya Suktiningsih, RJIB, 2016 ).

    Intraksi penutur bahasa seturut sifat dan keadaan ekologisnya disebutkan sosiolinguistik. Sosiolinguistik sebagaimana disinggung  Gumperz (1962 bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi (dalam, Wiya Suktiningsih, RJIB, 2016 ).

         Pada titik ini kita sangat jelas melihat ekolinguistik sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial (budaya), intraksi dan kreativitas penutur bahasa dan relasi dengan fauna dan flora (relasi ekologis).  Oleh karena itu, agar bahasa atau ungkapan atau metafora  daerah tidak termakan jaman dibutuhkan gerrakan ekologis. 

        Gerakkan-gerakkan tersebut melalui budidaya fauna dan flora yang berada diujung kepunahan, membuat wadah untuk mempertahankan dan mengembangkan kreativitas lokal yang menggunakan bahan alami seperti anyaman tikar, anyaman keranjang, tenun kain daerah, dan lain sebagianya. Sebab ada beberapa kekewatiran diera modern, pertama, kecendrungan untuk melupakan produk lokal seperti tikar, kerangjang, nyiru yang dianyam dengan bahan alami yakni pandan dan bambo untuk sulam nyiru dan tikar, kedua sampai saat ini penulis belum mendeangarkan usaha membudidayakan tanaman-tanaman yang akan digunakan sebagai bahan mentah untuk memenun dan membudidayakan pohon enau sebagai sumber pembuatan gula lokal, ketiga, belum gemanya memperbanyak wadah kreativitas lokal yang menggunakan bahan alam, dan masih banyak gerakkan ekologi lainya (maaf jika salah).

        Menafsir pandangan Hugen dan Gumpers, intraksi penutur bahasa dengan mempertahankan dan mengembangkan kreativitas dengan menggunakan bahan alami adalah sebuah aksi untuk melestarikan fauna dan flora. Dibudidayakannya bahan-bahan alam untuk krajinan lokal, maka dengan sendirinya kosa kata bahasa seturut penuturnya dilestarikan. Selanjutnya tindakan konkrit, dengan memperkenalkan bahasa daerah kepada anak-anak, membudidayakan dan melestarikan  jenis fauna dan flora yang hampir punah, meningkatkan kreativitas yang berbasiskan bahan-bahan alam, dan membiasakan diri untuk merawat alam sebagaimana merawat diri.  Sebab panggilan ekologis, menuntut kesadran dan kreativiatas manusia ditengah kris ekologis yang terus mengancam  ekolinguistik. Sebagimana hipotesis  Finke (2001) “Kreativitas hidup terancam oleh percobaan di alam dan kreativitas bahasa terancam oleh penutur yang menggunakannya” (Nesi, pos kupang). Karena itu, panggilam (usaha) pelestian fauna dan flora adalah usaha mempertahankan kosa kata, sajak atau pepatah daerah yang merupakan ciri khas budaya atau kekayaan daerah; atau melestarikan kenekaragaman fauna dan flora adalah usaha melestarikan bahasa ibu setempat.***

 

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada kolom ASPIRASI Harian Umum Flores Pos, tanggal 14/11/2017

Iklan

×
Berita Terbaru Update