-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suara Kemerdekaan dari Pelosok || Feliks Hatam ID

| Rabu, September 29, 2021 WIB Last Updated 2022-03-08T11:42:32Z
EDY FELIKS HATAM


TULISAN ini bukanlah esai ilimiah atau gagasan berbasis data berupa angka-angka, namun sebagai curuhan hati yeng berkaca pada kenyataan tentang keterbelakangan yang masih melilit masyarakat pelosok, bahkan masyarakat perkotaan.

Bukan data yang penulis tontonkan di sini, tetapi realitas yang juga dialami penulis. Dengan jujur saya katakan, bahwa saya dari pelosok negeri ini. Saya dibesarkan dalam harapan, kelak generasi saya menikmati sedikit kemajuan, seperti jalan raya, listrik dan pendekatan pelayanan kesehatan.

Mungkin ada rasa marah atau malu bagi saudara dan saudari saya yang berasal dari kampung, yang masih jauh dari kata kemajuan saat membaca tulisan ini. Karena itu, pada awalnya saya mohon maaf, sebab bukan itu alasan saya menuliskan ini.

Melalui tulisan ini, saya dan kita semua harus berani jujur akan realitas yang ada. Jujur akan keterbelakangan wilayah, berani mengatakatan ketertinggalan daerah. Sehingga dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa masih banyak masyarakat yang haus akan kemajuan di bidang-bidang dasar.

Baca Juga: Menggagas Bengkel Budaya


Hal-hal dasar tersebut adalah kerinduan akan jalan raya, listrik dan pendekatan pelayanan kesehatan, bahkan pendidikan sehingga negara tahu masih banyak rakyat atau wilayah yang belum disentuh dengan hal-hal dasar tersebut.

Saya menuliskan ini, bukan karena menyesal saya lahir di kampung, bukan juga karena membenci pengetuk palu kebijakan. Tetapi rintihan hati dari semua situasi dan kerinduan yang dimiliki sejak lahir. Bahkan menjadi kerinduan bagi semua generasi sebelum generasi saya.

Masyarakat pelosok mempunyai identitas jelas sama seperti masyarakat perkotaan. Identitas itu tertera dalam kartu tanda penduduk, warga negara Indonesia. Kami diakui oleh negara dan kami mengaku Negara Kesatuan Repoblik Indonesia adalah bumi yang melahirkan dan membesarkan kami, dan itu harga mati. Kami mengakui dan menghayati semangat bendera Merah Putih, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam setiap kiprah. Dalam sadar kami mengetahui Indonesia sudah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan saat ini (2017) usia kemerdekaan Indonesia 72 tahun.

Masyarakat di pelosok negeri, tidak hanya mewariskan nilai nasionalis dan budaya, tetapi juga mewariskan doa dan harapan, kelak bebas dari ketertinggalan. Ada nada doa dan harapan setiap pemilihan nahkoda negeri ini, kelak harapan itu menjadi kenyataan.

Berita korupsi yang terus terjadi  membuat hati semakin sakit. Pasalnya, di hati merekalah doa bertepi, agar “merawat” rakyat yang tertindas, membebaskan rakyat yang tertinggal. Korupsi dan atau penyalahgunaan wewenang dan anggaran membuat yang tertindas ditindas, membuat yang tertinggal ditinggalkan. Jika semua itu terus terjadi, maka harapan rakyat kecil dan masyarakat yang terletak di pelosok negeri ini, hanya sebatas harapan.

Rakyat pelosok yang mungkin “ditinggalkan” tidak mempunyai harapan yang muluk-muluk. Kami ingin sedikit merdeka dari keterbelakangan transportasi dan penerangan serta pelayanan kesehatan.

Tentu negara mempunyai hati, dan tidak tega melihat ibu hamil atau rakyat yang sakit mati tidak tertolong. Tidak tertolong, bukan karena mereka tidak mau ke rumah sakit atau puskesmas, tetapi jarak tempuh yang sangat jauh, diperparah lagi dengan mendaki gunung dan melintasi bukit-bukit. 

Baca Juga: Manggarai Stand Up Comedy: Kembung & Minyak Kayu Putih


Memang harus diakui, untuk persoalan ini, semangat gotong royong masyarakat masih kuat untuk saling membantu. Tetapi persoalannya adalah sakit dan daya tahan tubuh sesorang tidak bisa dinegoisasi atau disuap untuk sedikit bertahan dalam jarak tempuh yang jauh, dengan mengandalkan jalan kaki. Karena itu, sangat penting adanya puskampung atau puskesmas kampung. Hal ini menjadi penting, apabila jarak antar kampung sangat jauh dan dibatasi oleh gunung-gunung yang setia dijaga oleh negara. Itulah yang dialami oleh sebagian besar rakyatmu, negaraku.

Suara merdeka kedua yang datang dari pelosok adalah memutuskan isolasi, dengan membuka akses jalan raya untk menghubungkan antarkampung, antardesa, dan antarkecamatan. Cobalah tenggok ke pelosok negeri, apalagi untuk saya yang di Indonesia Timur, mohon maaf kalau saya salah. Banyak hasil bumi yang tertimbun di pelosok, tapi mengandalkan tenaga manusia untuk memindahkannya dari kampung satu ke kampung lain, mengandalkan punggung manusia sebagai mobil  untuk membawanya ke pasar supaya menghasilkan uang.

Kemajuan atau pertumbuhan ekonomi akan statis, bila daerah-daerah pelosok terus ditinggalkan. Kalau secara umum misi pembangunan negara dari desa ke kota, maka hendaknya di kabupaten menerapkan prinsip pembangunan dari kampung tersulit menuju kampun yang lebih maju. Dari kampung yang terisolasi menuju kempung yang terbuka.

Peningkatan ekonomi yang berakibat pada pemenuhan kebutuhan hidup, tentu tidak hanya berasal dari hasil bumi, tetapi masih banyak kreasi manusia lainya yang memerlukan bantuan listrik.

Bila manusia sehat, ekonomi memadai, maka pendidikan terpenuhi. Sehingga harapan generasi emas akan terwujud. Sebaliknya, bila pembangunan belum merata dan menyentuh sampai ke masyarakat pelosok, maka harapan generasi emas, hanya untuk wilayah atau daerah yang dapat disentuh oleh kemajuan, minimal jalan raya, listrik, dan pendekatan pelayanan kesehatan. “Maka tengoklah ke pelosok, buatlah bibit generasi emas mulai dari pelosok yang sangat tertinggal/tersulit”.

Banyak kerinduan dari masyarakat untuk menikmati kemajuan. Harapan itu akan diketahui bila ada kesempatan untuk membangun dialog dengan masyarakat kecil. Sebab pembanguan top down akan terlaksana secara maksimal bila melakukan tiga hal yaitu, membaca realitas, konseptual-pramagtis dan aktualisasi nyata.

Pertama, membaca realitas. Realitas masyarkat akan diketahui bila membangun dialog dengan masyarakat. Suasana dan kesempatan dialog memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dan mengemukakan kebutuhan real.

Kedua, konseptual-pramagtis. Dari hasil dialog, team kerja atau komunitas kerja (community workers) dan atau pihak berwenang membuat konsep pembangunan yang sangat pragtis dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, konsep pemberdayaan seperti ini disebut mendefenisikan kebutuhan (Nesdia. F.T,2015: 58). Mendefenisikan kebutuhan (difining need) adalah pemetaan kebutuhan yang berdasarkan kebutuhan rakyat atau pembangunan yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat.

Ketiga, aktualisasi nyata. Langkah ini sebagai aksi nyata dari dialog dan konsep, sehingga adanya kesamaan antara harapan rakyat dengan pembangunan yang sedang diprogramkan.


Langkah seperti ini dipandang perlu, karena kebutuhan dan karakteristik serta topografi wilayah di setiap pelosok sangat berbeda. Topografi dan karakteristik yang berbeda, maka adanya penanganan kebutuhan pun berbeda dan harapan kemerdekaan yang berbeda pula.

Penanganan yang berbeda inilah yang akan membawa wilayah pelosok kepada pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan, akan terjawab sampai pada sasarannya, kalau saja membangun dialog atau mendengarkan aspirasi dari bawah (masyarakat).

***

Penulis |  Edy Feliks Hatam

*)Tulisan ini sudah dipublikasikan di laman: florespost.co, tanggal 27/8/2017

Iklan

×
Berita Terbaru Update