Mimpi yang Terbuang dari Pembangunan
Edy Feliks Hatam
MUNGKIN saja kami kaum terbuang dari berbagai cerita pembangunan. Hiruk-pikuk kemajuan seakan semakin jauh dari harapan. Setetes embun kemajuan pun yang turun akibat pembangunan tidak pernah digenggam. Di sana mereka menceritakan tentang pembangunan, di sini kami masih meratap dalam harapan.
Tentang kemajuan, banyak pihak "berteriak" bila sedikit saja menyimpang. Ini penting, sebagai wujud peduli terhadap perjalanan bangsa. Asal tetap berjalan pada regulasi yang berlaku.
Di sini, ketertinggalan selalu menjadi luka dan mimpi. Luka yang masih belum pulih. Mimpi yang masih jauh panggang dari api. Kini, betul, sampai pada generasi ini, pembangunan yang berakibat pada kemajuan hanyalah wujud dari luka dan mimpi. Dan semua itu seolah warisan.
Bahkan, itu menjadi semacam kisah pilu yang tetap awet dari leluhur. Apakah kami dilahirkan untuk mewariskan mimpi yang tidak kunjung terwujud? Tentu kami bukan lahir di negara mimpi yang bahagia oleh imajinasi dan retorika. Kami lahir di negara yang nyata. Indonesia. Namun, kemajuan belum secara nyata hadir di sekeliling kami.
Tentang infrastruktur jalan raya dan jaringan, air minum bersih dan listrik. Itu semua adalah mimpi yang terus diwariskan kepada kami, di tempat kami, sejak sediakala. Kapan mimpi itu terwujud, entahlah. Barangkali para pemegang tampuk kuasalah yang bisa menjawabnya.
Pergantian pemimpin di negeri ini bukanlah mimpi, tetapi kenyataan yang terjadi lima tahun sekali. Sebab kami yang terbuang dari pembangunan ikut berpastisipasi menyalurkan hak suara. Berharap kelak mimpi menikmati pembangunan mengusir ketertinggal terwujud. Berbeda pilihan saat pemilu, tidaklah menjadi alasan menguburkan harapan menikmati kemajuan.
Perbedaan itu sah-sah saja. Sebab politik adalah pilihan. Pilihan untuk sejalan atau berbeda. Namun, satu hal yang tidak bisa diabaikan, kontestasi pemilihan pemimpin tidak sekadar kekuasan raga tetapi tentang kesejahteraan rakyat.
Di luar sana aliah-alih bicara pemerataaan pembangunan, di sini sedang ratap menanti bagian uluran tangan mereka yang berwenang mengetuk palu untuk menjawab pilu kami.
Baca Juga: Demokrasi Dalam Segelas Kopi
Apakah kami bukan bagian yang diperjuangkan dalam misi pemerataan pembangunan itu? Ataukah kami memang terbuang setiap kali setelah pemilihan nahkoda negeri ini? Dan akan diperlukan kembali bila suksesi pergantian itu tiba?
Jalan rusak, bahkan tak layak dilewati, pelita selalu menjadi saksi sejak merdeka hingga kini, konsumsi air yang tak layak dikonsumsi manusia selalu menjadi kenyaatan, cerita pilu anak sekolah mencari jaringan internet dan mengisi daya Handphone dan kiprah pendidik di tengah keterbatasan fasilitas saat diberlakukannya pembelajaran daring adalah kenyataan perih berbalut luka walau tidak berdarah, hingga duka tangis tidak berair mata.
Semakin sakit bagai luka yang terulang tertusuk duri pada luka yang sama, bila didengar tetapi pura-pura tidak mendengar, melihat tetapi berpura-pura tidak melihat. Inilah rintihan kami. Kami yang terlupakan bahkan terbuang dari kata-kata yang selalu mereka ucapkan “pemerataan pembangunan adalah penting untuk katalisator pembangunan ekonomi”.
Bagi kami, itu adalah kata penenang dan pelepas dahaga setelah mendaki jalan terjal, menumpang di mobil colt melewati jalan maut yang mempataruhkan nyawa, memikul hasil bumi ke kota demi sesuap nasi.
Kalimat itu seperti penenang rindu, kala melihat kaki anak-anak kami melangkah resah mencari jaringan di tengah hutan, mengisi daya hanphone di kampung sebelah. Lagi, kalimat itu untuk sedikit menyakinkan diri mengonsumsi air yang mengancam nyawa.
Lalu, sampai kapan kami bermimpi, untuk sedikit saja menikmati kekayaan Pertiwi. Alih-alih, bicara mengatasnamakan kepentingan rakyat, yang dibungkus dengan misi bonum communie.
Lalu, bukankah kami juga rakyat? Bukankah kami bagian dari yang diperjuangkan dalam misi bonum communie itu?
Jean J. Rousseau barangkali bisa dirujuk. Politik baginya adalah tentang kehendak umum, dan rakyat adalah habitus implementasi segala tindakan baik. Politik tidak sekadar janji, tetapi konsistensi menepati janji sebagai petaruh integritas diri. Politik adalah keberpihakan yang berpijak pada kehendak umum dan berusaha mendegradasi kepentingan kelompok dan individu.
Kepada siapa mimpi kaum terbuang dari pembangunan digaungkan? Mereka yang memiliki kuasa mengetuk palu, menawar janji dan kepada mereka yang telah memberi harapan mimpi ini dipersembahkan.
Ini benar-benar mimpi, kelak mengetuk hati, hingga mengetuk palu untul mewujudkan pemerataan pembangunan.
Ini bukan iri bercampur api benci. Tetapi reaksi sebagai bagian dari cinta ibu Pertiwi, berharap jangan ada yang dianaktirikan di negeri ini.
Ini adalah aspirasi berharap mimpi terealisasi. Ini adalah refleksi yang dirakit dari pinggiran, membahasakan diam dan tangis. Dengan semangat yang sama, agar menjadi "Tangguh dan Tumbuh"
*)Tulisan ini sudah dipublikasian di Letangmedia.com