SABTU PETANG MENGUBUR
KEBENCIAN
Oleh: BFH*
Maratapi
keterbatasan adalah hal hampa dalam menjelajah kehidupan yang misteri. Ketakpastian akan hari esok adalah kesempatan
mempesiapkan diri sejak dini di hari ini. Itulah hidup. Hidup yang selalu yang
mempersiapkan. Hidup untuk selalu bersedia. Hidup yang selalu siap.
Hari ini adalah
realitas. Keadaan saat ini bukanlah untuk ditangisi bila terbatas. Bukan untuk bersenang-senang bila berkecukupan.
Namun semuanya adalah rahmat. Bila terbatas, itu bukanlah sebuah kutukan
yang membawa ketakutan dan keresahan akan hari esok. Namun sebagai pacuan untuk terus bangkit memanfaatkan setiap jarum jam yang terus berputar. Sebaliknya berkecukupan bukanlah batu
sandungan untuk memandang orang lain dari
atas, namun sebagai saluran untuk belajar bersyukur, bela rasa, dan berdiri
sama tinggi dengan orang lain.
Itulah semangat dan kekayaan rasa yang dimiliki oleh
seorang lelaki malang, yang akrab dengan panggilan Edy. Edy, namanya familiar bagi rekan-rekan sekolahnya pun di kampung
halamannya. Anak yang family
background serba terbatas melihat waktu sebagai
kesempatan untuk menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain, bagi keluarga
dan bagi keempat adiknya. Pribadi rajin, tekun, ulet, jujur dan sopan itu adalah mencontoh sikap dan ketekunan
keluarganya. Alhasil peria yang bertubuh
atletis itu selalu menjadi nomor satu di sekolahnya. Akan tetapi siswa yang
berkulit sawo matang itu, tidak menjadikan kehebatannya sebagai alat untuk
menciptakan kesombangan, dan keangkuhan dengan teman-teman-temannya. Pria yang
sedang duduk di kelas II itu selalu menjadi penolong bagi teman-temannya bila
ada kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan Rumah. Belajar kelompok, diskusi,
mengerjakan tugas dalam kelompok belajar adalah jadwal tetap setiap malamnya bersama
dengan teman-temannya. Edy adalah pribadi yang humoris dan murah hati yang selalu
siap membantu teman-temannya yang membutuhkan bantuannya.
Kebaikan dan kepandaiannya tidak hanya mendapat banyak
pujian, dari sahabat, guru dan anggoata keluarganya, tetapi juga rentetan
ejekan. Baik dari teman-teman yang beseberangan dengannya maupun dari
lingkungan sosial. Lantaran pria yang berambut lurus itu berasal dari keluarga
yang sangat terbatas, bila ditanya soal finansial. Ejekan muncul dari
lingkungan sosial, lantaran kedua orang tuanya tidak mempunyai pekerjaan tetap,
berpenghasilan tergantung pada musim. Pesimisme orang-orang disekitar mereka
memuncak saat adik pertamanya duduk dikelas tiga SMP, adik keduanya duduk
dikelas satu SMP, adik ketiganya duduk
di kelas enam SD, dan adik keempatnya duduk di kelas tiga SD. Kalimat yang
sering terdengar di telinga keluarga tersebut mungkin seperti ini “alah,
percuma deh, biar anak-anaknya pinter,
tetap tidak bisa dilanjutkan ke Perguruan tinggi nanti, dan syukur kalau
semuannya bisa tamat SMA. Pendapatan dari mana? Untuk membiayai mereka semua”
Pak Sito dan Ibu Siti tidak sedikit pun menaruh benci,
apalagi marah bila mendengar ocehan itu. Mereka selalu tampil ramah, bekerja
keras, dan selalu bahagia menikmati kehidupan yang mereka alami. Bagi mereka,
biarlah orang lain meremehkan, pesimis dan benci dengan keluarga kita, toh
bukan mereka yang menjalankan. Kita sendiri yang menahkodai kehidupan ini.
Biarlah mereka setia dengan prasangka mereka sendiri, kita tetap teguh dan
terus bekerja keras serta bahagia dengan apa yang telah kita miliki saat ini, sebab
keluarga yang tidak kenal putus asa ini yakin, bahwa kerja keras dan usaha
tidak pernah mengkianati hasil. Semangat dan sikap inilah yang mendarah daging
dalam diri anak sulung mereka saat diejek oleh sebagian teman-teman sekolahnya.
Cimong, itulah
nama temannya yang selalu pandai menciptakan konflik, kegaduhan, mengejek dan
selalu membeci pria yang familiar itu. Bagi Cimong, merasa tergangu walau tidak
digangu bila pria berhidung mancung itu selalu menjadi nomor satu pada setiap
akhir semester, dan lomba lainya. Pribadi yang kaya ide pencipta konflik itu
lahir dari keluarga yang ramah, santun dan serba berkecukupan. Segala kebutuhannya
terpenuhi. Siswa yang berhobi memakai kaca mata gelap itu selalu meniatkan diri untuk berdiri bersama
Edy saat pembacaan siswa juara umum di
akhir semester. Namun sampai saat ini belum pernah terwujud. Setinggi langit harapannya, namun serata mata
kaki usahaya. Tidak cekatan dalam usaha, selalu manghabiskan waktu untuk
berambisi, mimpi dalam sadar tanpa menyadarkan diri untuk belajar, tidak tekun
mengerjekan tugas-tugas sekolah dan tugas lainya. “berambisi atau bermimpi
menjadi orang baik dan terbaik tanpa berusaha dan kerja keras adalah pribadi
yang terlanjur terbawa arus mimpi dan ambisi, pribadi yang tenggelam dalam
mimpi dan terlalu setia dalam ambisi
serta lupa untuk sadar” Mungkin itulah kalimat yang cocok untuk
menyatakan kepribadian Cimong. Sehingga tidak heran, jika nila ujiannya rata
net, alias pas di angka kiteria ketercapain mimum. Itulah yang dia alami selama
3 semester.
Waktu terus berlalu, bulan terus berganti, kelas dan semester pun
bertambah tibalah saatnya mereka berada di penguhujung kelas II yang ditandai dengan
ujian kenaikan kelas. Edy dan teman-teman kelompok belajarnya bergembira karena
sebentar lagi mereka duduk di kelas III. Duduk di kelas penghujung seragam
putih abu-abu.
Dua minggu setelah ujian semester, tibalah saatnya pembagian rapor.
Jantung bergetar cepat, lebih dari biasanya, rasa takut memuncak jauh dari
biasanya, kaki dan tangan bergetar dan keringat
tidak seperti biasanya menantikan jam 08.30 untuk pembagian rapor. Itulah keempat hari sabtu yang menakutkan,
sdikit menantang adrenalin. Jam yang
dinantikan telah tiba, guru-guru, kepala seokolah, dan murid-murid berkumpul di
Aula sekolah. Acara demi acara telah dilalui, tinggal dua angenda penting,
yakni pembacaan juara dan pembagian rapor.
Saatnya masuk ke agenda pembacaan
juara. Nama Edy, terdengar sebagai juara umum. Tepukan tangan terdengar meriah,
namun Cimong dan teman komplotannya yang
duduk di sudut kanan ruangan aula itu selalu setia dengan rasa kebenciannya, bahkan
sedang mencari cara untuk mencelakakan peria yang murah senyum itu. Rupanya,
kebencian dan niatnya sudah berada
pada titik jenuh.
Suasana aula sentak menjadi sepih. Gedung besar yang tadinya dimeriahkan
dengan tepukan tangan menjadi beku, ketika Edy tidak menuju ke tempat yang paling
depan setelah dipanggil dua kali. Ya seperti biasanya, yang juara dipanggil dan
berdiri di tempat yang paling depan. Namun kali ini, pria itu tidak sempat
menikmati suasana itu, kepala sekolah, guru-guru dan siswa-siswa bingung dan
cemas. Karena tidak biasanya. Suasana
Aula semakin kejam, serasa seperti semuanya kejang terbawa prasaan
ketika
salah satu petugas keamanan di
sekolah itu
meneruskan surat yang diterimanya dari anak yang
berumur 14 tahun ke wali kelas. Dengan
tangan yang gematar, Pak Wote menerima, membuka dan membacanya.
Air mata
membasahi pipi pria itu saat membaca surat
tersebut. Se-isi ruangan itu bingun dan
cemas memuncak. Dalam keheningan yang
membingungkan, terdengar dari sudut kanan ruangan itu seorang bersuara: Pak,
dengan rendah hati dan penuh hormat, tolong bacakan isi surat itu di mike, kami semua penasaran. Mengapa
bapak tiba-tiba menanggis? Apa yang sedang terjadi? Dan itu surat dari siapa?
Usulan salah seorang siswa itu mendapat dukungan dari siswa-siswi yang berada
di ruangan itu. Dengan tergesa-gesa pak Wote atas ijinan
kepala sekolah membaca isi surat itu.
“Yth. Bapak Guruku.
Aku
minta maaf atas ketidak sopanan saya ini. Saya tahu hari ini adalah hari Sabtu
yang ke-empat sebagai hari yang istimewaku
dengan teman-teman, sekaligus sebagai hari yang ditakutkan. Namun saat ini saya
tidak dapat menikmatinya, saya tidak dapat bergembira dengan teman-temanku,
saya tidak dapat menyaksikan serunya
hari ini, saya tidak dapat bergembira dengan teman-temanku, saya tidak dapat
melihat raut wajah yang senang, gembira dari bapak ibu guru dan teman-teman,
saya tidak dapat menyubangkan tepukan tangan yang keras sebagaimana yang
dilakukan oleh teman-temanku saat ini.
Dengan
tenaga dan semangat yang tersisa ini, ku
menuliskan ini di tempat baringku. Dalam rasa dan resahku akan diriku hari ini,
aku minta maaf yang sedalam-dalamnya. Hari ini aku masih terbaring di Rumah
sakit, terbaring sedikit demi sedikit untuk membangkitkan lagi semangatku
setelah menjalankan operasi beberapa hari yang lalu. Aku berjanji akan kembali berada
bersama teman-teman, belajar bersama teman-teman, dan membersihkan halaman
sekolah secara bersama dengan teman-teman.
Dari
muridmu: Edy”
Air mata membajiri semua pipi yang ada di ruangan
itu, Cimong pun ikut sedih, tapi tidak menangis. Mengalihkan suasana itu,
kembali bapak kepala sekolah berdiri di Podium utama dan melanjutkan ke agenda
terakhir, yakni pembagian rapor, yang dipandu dan dibimbing oleh Wali Kelas.
Semua agenda pun selesai. Baik teman kelas dan
teman-teman belajarnya Edy pun naik kelas, termasuk sahabat setianya Roes. Sedangkan Cimong naik dengan nilai yang tidak
memuaskan
Semua siswa
mempresentasikan kebahagian mereka dengan menampilkan raut wajah yang cerah
ceria. Namun Roes sahabat setianya itu tampak murung, sedih. Teman-teman kelasnya
menghampiri pria yang berhidung macung
itu. Salah satu dari mereka berani
mengajak bicara, sebut saja Raes. Ro, mengapa kamu sedih? Kau kan naik kelas,
juara tiga kelas lagi, sementara kami yang lain, naik kelas saja kamu sudah
bangga dan bersyukur. Ayo dong Ro, semangat
! Semangat ! senyum dong!. Ajak Raes. Roes bangkit berdiri dan berbicara dengan
penuh kewibawaan. Raes, kamu semua benar dan saya pun bersyukur. Namun ada hal
lain yang membuat batin ini terpukul. Ini tentang sahabat saya, Edy. Kamu tahu
kan? Biasanya kalau saat-saat seperti ini kita tertawa bersama, sedih bersama,
bercerita bersama. Dan aku takut jika sesuatu hal yang terjadi diluar dugaan
kita terjadi pada Edy.
Waduhhh...Roes, jangan pikir yang macem-macem
lah. Kita berdoa kepada yang Maha Kuasa, agar Edy cepat sembuh. Kan Edy sendiri
sudah janji, dia akan kembali bersama kita saat setelah selesai liburan nanti. Nah, sekarang kita semua ke Rumah sakit
bersama Pak Wote. Mendengar sungguhan kata-kata itu, Roes pun kembali
menampilkan senyuman khasnya.
Tepat pukul 15.00 tibalah
mereka di Rumah sakit. Tidak disangka, pria yang selama ini menciptakan konflik
dengan Edy, membeci Edy tanpa alasan, bahkan meniatkan diri untuk mencelakainya
adalah orang pertama dari sekolahnya yang mengjenguk. Mereka terlihat sangat akrab. Teman-temannya lainya kaget. Bahkan tidak yakin
dengan semua yang telah mereka lihat.
Ruangan itu pun dipenuhi
canda tawa, dan Edy hanya mampu menyumbangkan senyuman untuk menampilkan pipi
lesungnya.
Pukul 16.00 mereka meninggalkan ruangan itu, termasuk Cimong. Tepat
di tempat parkir kendaraan Roda dua di
Rumah sakit itu, Cimong duduk tertegun,
matanya seolah-olah malu untuk menyatakan bahwa dirinya telah bersalah. Melihat
itu, Roes pun, mendekatinya. Mong, kok kamu kelihatan sedih? Tanya Roes. Roes
saya tahu, kamu adalah sahabatnya Edy, kamu semua pasti membenci saya, apalagi
Edy. Saya bersalah terhadap kamu semua Ro. Jawab Cimong sambil membelakangi
Roes dan teman-temannya.
Roes mendekatinya sambil menepuk bahunya dan berkata, Mong
pikiranmu salah. Edy tidak pernah benci siapapun, bahkan dia tidak tahu kalau
kamu sedang membencinya, kalaupun dia tahu, dia tidak akan menaruh dendam.
Baginya, semua siswa-siswi di sekolah kita adalah keluarga, bahkan
pelajar-pelajar di sekolah lain yang dia kenal diakuainya sebagai sahabat dan
keluarga. Jadi sekarang kamu tidak boleh pikir yang
macam-macam. Saat ini adalah awal
persahabatan kita. Kita adalah keluarga, atau bagiama tema-teman. Roes menyakinkan
Cimong dengan sumbangan kata-kata dari teman-temannya. Ya, lagian sekarang kita
suadah kelas III, bulan Desember ujian semester, lalu April kita Ujian
Nasional, lalu kita tamat, dari pada kita saling membenci lebih baik kita
bersahabat, belajar bersama, dan diskusi soal-soal ujian nasional sebelumnya.
Bagaimana? Tanya Raes. Asyikkkkkkk, sambung teman-temannya. Ayo...!!! sekarang
kita pulang ke Rumah masing-masing, sampai ketemu di bulan depan.
Hari itu
adalah lembaran baru bagi Cimong. Kini dia sadar, bahwa begitu banyak waktu dan
kesempatan yang telah ia lalui dengan hal-hal yang tidak penting. Pria dan
orang-orang yang selama ini dia benci, ternyata tak setitikpun berpikir seperti yang dia pikirkan. Di Sabtu
petang itulah mereka membentang tali persudaraan, menanam benih-benih
persahabatan dan memberikan tenaga mereka untuk menyatakan bahwa kita bisa,
kita sukses, tanpa harus saling membenci, apalagi sampai beradu fisik
(tawuran).
Di Sabtu
petang, bekas-bekas kebencian terkubur bersama terbenamnya sang mentari. Lalu
bangkit bersama sang fajar, menerbitkan sandi-sandi persahabatan dan
kekeluargaan, menaburkan semangat demi menggapai cita-cita. Bersama fajar dan embun di pagi hari turut
meneduhkan rasa dan prasaan diantara mereka. (Bagimana nasib Edy, dan Cimong selanjutnya? Akan dikisahkan pada
kesempatan selanjutnya)
BFH: Benediktus Feliks Hatam
Tulisan ini sudah dipublikasikan oleh florespost.co